Kisah Cinta Raja Bolaang Mongondow dan Putri Minahasa di Negeri Pontak
Oleh: Arun Algaus
Editor: Tim Pena Sehat
Dalam ingatan kolektif masyarakat Minahasa, khususnya sub-suku Tompakewa, terdapat sebuah kisah lisan yang kerap diceritakan ulang dari generasi ke generasi. Cerita ini dikenal sebagai kisah Putri Oeweranden dan Raja Damopolii, sebuah narasi tentang asal-usul, cinta, dan batas wilayah yang tidak hanya hidup dalam tutur kata para tetua, tetapi juga tercatat dalam naskah lama berbahasa Belanda.
Sebagaimana dikenang oleh para tetua, kisah ini bukanlah catatan sejarah akademik, melainkan warisan tutur yang menyimpan makna simbolik tentang hubungan manusia, alam, dan adat.
Putri Oeweranden, Anak Rotan dalam Cerita Lisan
Menurut penuturan masyarakat, kisah ini bermula di wilayah sungai Ranoyapo, tepatnya di sebuah negeri yang dikenal sebagai Pinontakan, yang terletak di antara dua cabang sungai tersebut. Diceritakan, seorang tonaas—pemimpin adat setempat—pergi berburu bersama beberapa pengikutnya. Mereka mendirikan sebuah sabuwa atau gubuk sementara untuk menyimpan hasil buruan, seperti rusa, anoa, dan daging pilihan lainnya.
Dalam cerita yang diwariskan secara lisan, sang tonaas mulai merasa heran karena daging simpanan yang diletakkan di dalam bambu selalu berkurang. Ia pun berjaga, hingga suatu waktu mendapati seorang gadis cantik yang datang mengambil daging tersebut. Ketika hendak dihukum, gadis itu berkata bahwa ia adalah anaknya sendiri.
Penuturan para tetua menyebutkan bahwa gadis itu menunjuk ke arah semak rotan yang sering dikunjungi para tonaas. Dalam pemahaman adat Tompakewa, semak rotan—dikenal sebagai rotan taiti—memiliki makna simbolik tertentu. Gadis itu menyebut rotan sebagai ibunya, dan tonaas sebagai ayahnya.
Sejak saat itu, tonaas mengadopsi gadis tersebut dan memberinya nama Oeweranden, yang dalam cerita ini dimaknai sebagai “anak rotan”. Putri Oeweranden kemudian dibawa kembali ke negeri Pinontakan dan dibesarkan di tengah masyarakat.
Kecantikan, Budi Pekerti, dan Pertemuan dengan Raja Damopolii
Dalam kisah yang dikenang masyarakat, Putri Oeweranden tumbuh menjadi sosok yang dikenal karena kecantikan dan sikapnya yang halus. Cerita tentang dirinya menyebar hingga ke wilayah muara Ranoyapo, tempat Raja Damopolii dari Bolaang Mongondow sering mandi di sungai.
Dikisahkan, suatu hari Raja Damopolii mendapati buah pakoba tergenggam di tangannya setiap kali ia menyiram tubuh dengan air sungai. Buah itu memiliki bekas gigitan yang dianggap indah. Menurut penafsiran lisan yang berkembang, sang raja meyakini bahwa bekas tersebut berasal dari seorang perempuan yang tinggal di sekitar sungai.
Raja Damopolii kemudian mengutus orang-orangnya untuk menyelidiki sepanjang aliran Ranoyapo hingga ke negeri Pinontakan. Dalam cerita rakyat ini, penyelidikan dilakukan dengan cara yang jenaka dan cerdik, hingga akhirnya perhatian tertuju pada Putri Oeweranden.
Lamaran, Pernikahan, dan Simbol Rotan
Sebagaimana dituturkan dalam cerita yang diwariskan secara turun-temurun, Raja Damopolii kemudian datang melamar Putri Oeweranden melalui tonaas yang mengadopsinya. Lamaran tersebut diterima, dan Putri Oeweranden dibawa ke Bolaang Mongondow untuk dinikahkan secara adat. Dalam kisah ini, ia kemudian diangkat sebagai ratu.
Setelah pernikahan, terdapat kisah simbolik tentang perjalanan Raja Damopolii dan Putri Oeweranden di wilayah yang dipenuhi rotan. Diceritakan bahwa rotan-rotan tersebut selalu membungkuk ketika dilewati. Putri Oeweranden menyebut rotan itu sebagai “paman-pamannya”, dan meminta agar diberi penghormatan agar mereka kembali tegak.
Bagi masyarakat yang menuturkan kisah ini, bagian tersebut sering dimaknai sebagai simbol hubungan manusia dengan alam dan leluhur, bukan sebagai peristiwa yang harus dipahami secara harfiah.
Negeri Pontak dalam Ingatan Kolektif
Dalam penuturan yang berkembang, kisah Putri Oeweranden juga dikaitkan dengan perpindahan dan penamaan wilayah. Masyarakat Minahasa mengenang bahwa Pinontakan berada di seberang sungai Ranoyapo, dan dari kata itulah muncul sebutan Pontak.
Cerita lisan ini kemudian bersinggungan dengan ingatan tentang batas wilayah antara Bolaang Mongondow dan Minahasa. Dalam beberapa naskah kolonial, termasuk yang dicatat pada abad ke-19, Pontak disebut sebagai salah satu titik batas yang disepakati pada masa tertentu. Namun dalam konteks cerita rakyat, bagian ini lebih dipahami sebagai penanda ingatan kolektif, bukan bukti sejarah tunggal.
Makna Budaya dan Pesan Cerita
Sebagaimana disampaikan oleh para penutur, kisah Putri Oeweranden dan Raja Damopolii mengandung pesan tentang asal-usul, penghormatan terhadap adat, serta relasi antara manusia, alam, dan kekuasaan. Cerita ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal menyimpan ingatan tentang ruang, batas, dan identitas melalui narasi yang hidup.
Dalam kerangka budaya, kisah ini tidak berdiri untuk membuktikan kebenaran sejarah, melainkan untuk menjaga kesinambungan memori kolektif yang diwariskan melalui tutur.
Sumber Cerita:
Catatan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Tompakewa Minahasa, serta rujukan naskah kolonial Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië karya J. Bodde (1883). Dokumentasi lisan dan arsip visual menjadi bagian dari bahan penyusunan narasi ini.
Disclaimer Budaya & Akademik:
Artikel ini disusun berdasarkan tradisi lisan, penuturan masyarakat, serta rujukan naskah lama sebagai bagian dari khazanah budaya lokal. Cerita yang disajikan tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah akademik yang final, melainkan sebagai dokumentasi narasi budaya yang hidup dan terus ditafsirkan oleh masyarakat pendukungnya.
