✍️ Punya kisah, sejarah, atau budaya dari daerahmu? Yuk, kirim tulisanmu ke Pena-Sehat!
KIRIM SEKARANG

Zuhud: Ketika Cukup Adalah Kekayaan Sejati

Gambar: ilustrasi

Zuhud: Seni Merasa Cukup di Tengah Dunia yang Sibuk

Di tengah hiruk pikuk dunia yang terus menuntut lebih—lebih cepat, lebih sukses, lebih kaya—ajaran tasawuf datang dengan pesan sederhana namun dalam: "Cukup itu kaya." Inilah ruh dari konsep zuhud, sebuah sikap hati yang mengajarkan kita untuk tidak diperbudak oleh dunia.

Apa Itu Zuhud?

Secara bahasa, zuhud berasal dari kata Arab zahida, yang berarti meninggalkan atau berpaling dari sesuatu. Namun dalam tasawuf, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara fisik, melainkan menjauhkan hati dari keterikatan berlebihan terhadap dunia.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Zuhud adalah tidak merasa gembira ketika dunia datang, dan tidak bersedih ketika dunia pergi.”
(Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam)

Dengan kata lain, orang yang zuhud bukan tidak memiliki harta, tapi harta itu tidak menguasai hatinya.

Zuhud dalam Perspektif Sufi

1. Hasan al-Bashri

“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tapi hatimu lebih yakin pada apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tanganmu.”
(Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim)

2. Imam Al-Ghazali

Dalam Ihya Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa zuhud memiliki tiga tingkatan:

  • Zuhud karena takut siksa (tingkat awam)
  • Zuhud karena mengharap pahala (tingkat pertengahan)
  • Zuhud karena cinta kepada Allah (tingkat tertinggi)

Kenapa Zuhud Relevan Hari Ini?

Kita mungkin tidak hidup di padang pasir seperti para sufi dahulu, tapi kegelisahan tetap sama: hati yang tak pernah puas. Media sosial, iklan, gaya hidup konsumtif—semua mendorong kita merasa kurang. Dalam kondisi ini, zuhud menjadi perlawanan sunyi, cara menjaga hati tetap tenang di tengah kebisingan dunia.

Zuhud bukan menyerah, tapi menyederhanakan harapan, agar hati tetap fokus pada yang abadi.

Cara Praktis Menerapkan Zuhud di Era Modern

  1. Bersyukur setiap pagi – mulai hari dengan menyadari nikmat yang sudah ada.
  2. Kurangi perbandingan sosial – jangan terlalu sering membandingkan hidupmu dengan orang lain di media sosial.
  3. Fokus pada amal, bukan penilaian orang – sufi sejati mengukur dirinya dengan Allah, bukan manusia.
  4. Sederhana dalam konsumsi – cukup itu cukup; bukan kurang.

Penutup: Dunia di Tangan, Akhirat di Hati

Zuhud bukan tentang membenci dunia, tapi menempatkannya di posisi yang wajar. Dunia ada di tangan, tapi hati tetap bergantung pada Allah.

Seperti kata Imam Syafi’i:
“Jika kamu memiliki dunia di tanganmu, jangan biarkan ia masuk ke dalam hatimu.”

Karena hati yang merasa cukup adalah hati yang paling kaya.


Referensi:

  • Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
  • Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya’
  • Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam
  • Al-Qushayri, Al-Risalah al-Qushayriyyah
Lebih baru Lebih lama