Etika Islami Saat Berdiskusi atau Berbeda Pendapat
Islam adalah agama yang penuh rahmat dan mengajarkan adab dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berdiskusi dan menyikapi perbedaan pendapat. Dalam dunia yang semakin plural, umat Islam dituntut untuk menjaga lisan, hati, dan akhlak ketika berdialog atau menanggapi pandangan yang berbeda.

Perbedaan: Fitrah Manusia dan Sunnatullah
Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat." (QS. Hud: 118)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Allah dan tidak bisa dihindari. Maka, tugas umat Islam adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu dengan hikmah dan adab.
Teladan Rasulullah dalam Berpendapat
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam etika berdialog. Beliau bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika para sahabat berselisih, Rasulullah SAW tidak serta-merta menyalahkan, tapi mendengar, membimbing, dan memberikan pandangan terbaik dengan kelembutan.
Adab-Adab dalam Berbeda Pendapat
- Niat yang Lurus: Berdiskusi karena mencari kebenaran, bukan ingin menang.
- Husnuzhan: Berbaik sangka terhadap lawan diskusi.
- Tidak memotong pembicaraan: Mendengarkan dengan sabar.
- Tidak mencela: Hindari kata-kata kasar dan penghinaan.
Prinsip Para Ulama Sufi dalam Menyikapi Perbedaan
Para ulama tasawuf sangat menjunjung tinggi adab dalam perbedaan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menulis:
"Tidak sepatutnya seseorang merasa bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran mutlak. Ia harus selalu membuka hati untuk kebenaran yang datang dari orang lain, meskipun tampak berbeda."
Begitu pula Ibn 'Ajibah dalam tafsirnya al-Bahr al-Madid menjelaskan bahwa perbedaan adalah cara Allah mendidik hamba-hamba-Nya untuk bersikap tawadhu' dan bijak.
Contoh Perbedaan di Kalangan Sahabat
Pernah suatu ketika, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Sebagian sahabat menunda shalat hingga tiba di tujuan, sebagian lagi shalat di jalan karena khawatir keluar waktu. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan keduanya.
Ini menunjukkan bahwa perbedaan ijtihadiyah yang didasari niat baik tidak perlu dibesar-besarkan.
Pena Sehat: Media Pengetahuan Dari Desa Untuk Indonesia
Menghindari Fanatisme Buta
Dalam kitab Adab al-Ikhtilaf karya Syaikh Yusuf al-Qaradawi disebutkan:
"Fanatisme terhadap pendapat sendiri akan mematikan nurani dan menjauhkan seseorang dari sikap obyektif dan ilmiah."
Oleh karena itu, seorang Muslim harus menghindari ta'assub (fanatisme) dan selalu membuka diri terhadap ilmu dan nasihat yang baik.
Peran Media Sosial dan Dunia Digital
Di era digital, perbedaan pendapat sering kali lebih tajam. Kita harus lebih berhati-hati, karena tulisan atau komentar bisa menyakiti hati tanpa kita sadari. Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin mengingatkan bahwa adab adalah bagian dari iman.
"Sesungguhnya seorang hamba bisa mengucapkan satu kalimat yang tidak ia pikirkan bahayanya, lalu karena itu ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Menjaga Ukhuwah di Atas Perbedaan
Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (disakiti)." (HR. Bukhari)
Perbedaan dalam fikih atau pandangan tidak seharusnya merusak persaudaraan. Ukhuwah Islamiyah jauh lebih penting daripada menang dalam perdebatan.
Menata Niat dan Hati Sebelum Berdiskusi
Salah satu kunci utama dalam berdiskusi adalah niat. Apakah niat kita untuk mencari kebenaran atau sekadar mempertahankan ego? Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik..." (QS. Al-Ankabut: 46)
Diskusi yang diniatkan karena Allah akan membawa berkah, bukan permusuhan. Niat yang salah hanya akan melahirkan perpecahan dan debat kusir yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Mengedepankan Akhlak, Bukan Amarah
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam kelembutan. Bahkan ketika beliau didatangi orang-orang kasar, beliau tetap menjawab dengan akhlak yang agung. Dalam berdiskusi, hindarilah kata-kata tajam, sarkasme, atau sindiran. Sampaikan pendapat dengan santun, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Berani Mendengar, Tanda Kedewasaan
Seringkali dalam diskusi kita lebih fokus pada menjawab, bukan memahami. Padahal, mendengar adalah adab pertama dalam berinteraksi. Dengarkan hingga tuntas, baru tanggapi. Ini adalah wujud dari sikap rendah hati dan membuka ruang saling belajar.
Memisahkan Pendapat dan Persaudaraan
Imam Syafi'i rahimahullah berkata: "Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapatmu salah tapi mungkin benar." Ini adalah sikap rendah hati yang patut diteladani. Perbedaan tidak boleh mengorbankan ukhuwah. Kita bisa tidak setuju, tanpa harus bermusuhan.
Berbicara dengan Dalil dan Hikmah
Setiap pendapat yang disampaikan hendaknya berdasarkan ilmu, bukan sekadar opini pribadi. Allah SWT berfirman:
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125)
Pendapat yang disertai dalil dan disampaikan dengan hikmah akan lebih mudah diterima dan menghindarkan dari konflik yang tidak perlu.
Tahu Kapan Berhenti
Ada kalanya diskusi berubah menjadi perdebatan yang tidak produktif. Dalam situasi seperti ini, menahan diri adalah pilihan bijak. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
"Kebenaran itu tidak hilang hanya karena kita diam dari debat."
Diam bukan berarti kalah, tapi bisa jadi itulah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Menutup Diskusi dengan Akhlak
Ketika diskusi berakhir, tutuplah dengan adab dan penghormatan. Ucapkan "jazakallah khair" atau "terima kasih atas masukannya" walau tidak sepakat. Sikap ini menunjukkan kedewasaan hati dan adab Islami yang sejati.
Penutup: Menghidupkan Ruh Adab dalam Dialog
Islam bukan hanya mengajarkan mana yang benar dan salah, tetapi juga mengajarkan bagaimana menyampaikan kebenaran dengan adab dan cinta. Adab berdiskusi bukan sekadar etika sosial, melainkan cermin dari iman dan akhlak seorang Muslim.
Semoga kita semua bisa meneladani akhlak Rasulullah dan para ulama salaf dalam berdialog, berbeda pendapat, dan tetap menjaga persaudaraan Islam.
Referensi:
- Al-Qur’an Surah Hud: 118
- Al-Qur’an Surah An-Nahl: 125
- Al-Qur’an Surah Al-Ankabut: 46
- HR. Bukhari dan Muslim
- Imam Al-Ghazali – Ihya’ Ulumuddin
- Imam Nawawi – Riyadhus Shalihin
- Ibn 'Ajibah – Tafsir al-Bahr al-Madid
- Syaikh Yusuf al-Qaradawi – Adab al-Ikhtilaf
- Kutipan Imam Syafi’i, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan sumber klasik lainnya