Thaif adalah salah satu fase tersulit dalam perjalanan dakwah Rasulullah ﷺ. Namun dari peristiwa penuh luka ini, umat Islam belajar arti kesabaran, kasih sayang, dan visi panjang seorang pemimpin sejati.
Latar Belakang Perjalanan ke Thaif
Setelah wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib, Rasulullah ﷺ mengalami 'Aam al-Huzn (tahun kesedihan). Beliau pergi ke Thaif dengan harapan mendapatkan dukungan, namun di sana beliau justru diusir dan dilempari batu hingga berdarah.
“Wahai Muhammad! Kalau engkau memang seorang nabi, engkau terlalu mulia untuk kami. Dan jika engkau berdusta, engkau terlalu hina untuk kami layani.” — (Sirah Ibnu Hisham)
Kasih Sayang di Tengah Luka
Ketika malaikat penjaga gunung ditawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak. Bahkan aku berharap dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.” — (HR. Bukhari no. 3059)
Pelajaran Teladan dari Thaif
- Kesabaran sejati: Rasulullah ﷺ tidak membalas kejahatan dengan kemarahan.
- Kasih sayang universal: Beliau memaafkan demi masa depan dakwah, bukan dendam.
- Optimisme dalam berdakwah: Beliau percaya akan datangnya hidayah bahkan dari musuh.
Nasehat Ulama
Ibnu Katsir dalam Al-Bidāyah wa an-Nihāyah menyebut:
“Ini adalah puncak rahmat Nabi terhadap umat manusia. Jika beliau mau, Thaif binasa. Tapi beliau memilih pengampunan.”
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Raheeq al-Makhtum menulis:
“Dari Thaif lahir anak cucu yang kelak beriman. Ini bukti bahwa dakwah tidak boleh dilihat dari hasil sesaat.”
Penutup
Kisah Thaif adalah bukti bahwa kekuatan dakwah Rasulullah ﷺ tidak hanya pada kata, tapi juga pada akhlak dan pengampunan. Beliau adalah contoh sejati dari rahmat bagi seluruh alam.
Sumber: Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, Sirah Ibnu Hisham, HR. Bukhari