Islamisasi di Kawasan Laut Sulawesi Abad ke-19: Jalur Dagang, Perebutan Kuasa, dan Jejak Para Ulama
Di peta maritim Nusantara, Laut Sulawesi adalah simpul sunyi yang menyimpan kisah panjang mengenai datangnya sebuah peradaban baru. Abad ke-19 bukan hanya menandai masa perubahan ekonomi dan politik di kawasan ini, tetapi juga menjadi babak penting ketika ajaran Islam mengalir bersama arus perdagangan, berlabuh di pelabuhan-pelabuhan kecil, dan menetap di komunitas yang sebelumnya hidup dalam tradisi lokalnya masing-masing.
Kawasan ini bukan sekadar laut pemisah antara Sulawesi, Mindanao, dan Maluku — ia adalah jembatan alami yang sejak lama dilalui pedagang Arab, India, Cina Muslim, hingga jaringan niaga Nusantara dari Makassar, Ternate, dan Sulu. Islam di Laut Sulawesi tidak datang sebagai gelombang tunggal; ia hadir sebagai hasil pertemuan panjang antara ekonomi maritim, mobilitas manusia, dan strategi politik para penguasa kawasan.
Jejak Awal Islam: Antara Ternate, Makassar, dan Sulu
Sejak abad ke-16, tiga kekuatan besar menjadi lokomotif utama persebaran Islam di kawasan ini: Kesultanan Ternate, Kesultanan Makassar, dan Kesultanan Sulu. Tiga poros ini saling berkompetisi dalam pengaruh politik, dagang, serta dakwah.
Ternate memegang kendali penting atas pulau-pulau kecil di antara Halmahera dan Laut Sulawesi. Sebagai penguasa “72 pulau”, Ternate rajin mengirimkan pedagang dan ulama ke wilayah pesisir yang berada di bawah jaringan rempah-rempahnya. Bagi mereka, ekspansi ekonomi dan penyebaran agama berjalan beriringan.
Dari selatan, Makassar muncul sebagai kekuatan dagang kosmopolitan. Di bawah kebijakan ekonomi terbuka Sultan Alauddin, Makassar menjelma menjadi entrepot internasional tempat berkumpulnya pedagang dari berbagai bangsa dan agama. Pengaruh Makassar menyebar hingga pesisir Manado, Gorontalo, dan wilayah Bolaang Mongondow.
Di utara, Kesultanan Sulu menautkan jalur dakwah antara Mindanao, Sangihe-Talaud, dan Maluku. Di Tahuna dan pulau-pulau sekitarnya, jejak ulama Sulu — salah satunya tokoh dari garis Syarif Awliya — menjadi fondasi awal komunitas Muslim lokal.
Laut Sulawesi: Ruang Dagang yang Menjadi Ruang Dakwah
Sedari lama, Laut Sulawesi berperan sebagai ruang perlintasan pedagang dari berbagai dunia. Para saudagar dari Arab dan India membawa kain, logam, dan rempah; sementara pedagang Bugis-Makassar membawa damar, beras, dan kapal-kapal berteknologi tinggi. Hubungan niaga yang erat menciptakan perjumpaan budaya, termasuk ajaran Islam.
Pada abad ke-19, rute perdagangan yang menghubungkan Maluku sebagai pusat rempah dan Makassar sebagai pelabuhan utama memaksa setiap pedagang melintasi kawasan Laut Sulawesi. Karena itu, hampir semua bandar pantai — dari Belang, Kema, Manado, Gorontalo, Toli-Toli hingga Bolaang Mongondow — menjadi ruang pertemuan para penyebar Islam.
“Puncaknya ketika kawasan ini menjadi wilayah persinggahan karena cuaca dan angin musim, beberapa bandar di sepanjang garis pantai menjadi titik tetap dalam rute para pedagang Muslim.” — Moelsbergen (1928)
Bolaang Mongondow: Dari Pengaruh Ternate ke Akar Islam Lokal
Bolaang Mongondow menempati posisi unik dalam proses islamisasi di Laut Sulawesi. Menurut penelitian, islamisasi di wilayah ini mulai terasa sekitar tahun 1653, ketika Raja Laloda Mokaagow menjalin hubungan politik dan dagang dengan Sultan Ternate. Sebagai vasal Ternate, Bolaang Mongondow menjadi bagian dari jalur perdagangan yang membuka pintu masuk ajaran baru.
Namun, penyebaran Islam pada masa itu masih terbatas pada lingkungan istana. Masyarakat umum tetap memeluk kepercayaan leluhur hingga abad-abad berikutnya. Pengaruh lebih kuat datang kemudian melalui jaringan pedagang dan ulama dari Makassar, Bugis, serta para ulama yang kembali dari Mekkah.
Di Lipung, seorang tokoh bernama Imam Tueko dan beberapa ulama dari Hijaz menjadi motor penting penyebaran dakwah. Raja Jacobus Manuel Manoppo lalu mengukuhkan Islam sebagai agama kerajaan dan memerintahkan pembangunan masjid serta lembaga pendidikan agama.
Dari sini, Islam tumbuh menjadi identitas penting masyarakat Kotamobagu dan dataran sekitarnya, membentuk fondasi sosial yang bertahan hingga era modern.
Manado, Gorontalo, dan Sangihe: Mosaik Agama dalam Arus Perdagangan
Di bagian lain Semenanjung Laut Sulawesi, dinamika keagamaan lebih kompleks. Manado yang sejak awal berinteraksi dengan misi Katolik Spanyol dan Protestan VOC, tetap menyimpan jejak Islam yang tidak kecil. Penemuan nisan dua pedagang Arab tahun 1685 dan 1689 di sekitar pelabuhan Manado menjadi bukti bahwa basis Muslim telah hadir sejak lama.
Gorontalo, yang banyak dipengaruhi Ternate, memasuki era Islam sejak masa Raja Amai. Kerajaan ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat Islam kuat di utara Sulawesi.
Di Kepulauan Sangihe, pengaruh Islam dari Sulu dan Mindanao membentuk komunitas Muslim yang unik, dengan tradisi lokal seperti Islam Masade’ yang bertahan hingga kini.
Perebutan Pengaruh: Spanyol, Belanda, dan Pergeseran Arah Islamisasi
Masuknya kekuatan Eropa memberi babak baru dalam lanskap keagamaan Laut Sulawesi. Perjanjian damai Spanyol–Belanda pada abad ke-17 menempatkan Zamboanga dan Manado sebagai basis dua kekuatan Eropa itu. Akibatnya, gerak penyebar Islam dari Sulu dan Ternate terhalang.
Belanda memperkuat misi zending Kristen, terutama di Minahasa. Namun pedagang Muslim tetap mempertahankan pengaruhnya di banyak pelabuhan, menciptakan ruang-ruang di mana Islam tumbuh lewat perdagangan, bukan kekuasaan.
Bahkan beberapa tokoh Muslim, seperti Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo, dan Imam Bonjol, turut memberi pengaruh spiritual dalam perkembangan komunitas Muslim di kawasan ini.
Kemenangan Sunyi Jaringan Dagang
Sejatinya, kekuatan utama islamisasi di Laut Sulawesi bukan pada pedang atau politik, melainkan pada jaringan dagang yang cair dan inklusif. Para pedagang Arab, Bugis, Makassar, hingga Ternate membawa Islam melalui bahasa komoditas, persahabatan maritim, dan strategi bertahan hidup.
Di pelabuhan-pelabuhan kecil yang ramai oleh perahu padewakang, Islam bersemi dari obrolan para saudagar, akad dagang, dan pernikahan antara pendatang dan penduduk lokal. Dari sinilah terbentuk enclave Muslim di Manado, Gorontalo, hingga Bolaang Mongondow.
Penutup: Laut yang Menyatukan Peradaban
Islamisasi di Kawasan Laut Sulawesi adalah kisah tentang laut yang mempertemukan, bukan memisahkan. Ia bukan proyek tunggal kekuasaan, melainkan hasil interaksi panjang antara pedagang, penguasa, ulama, serta masyarakat pesisir yang terbuka pada arus budaya baru.
Abad ke-19 menjadi puncak proses itu: era ketika Laut Sulawesi menjadi simpul jejaring Islam, menghubungkan Asia Tenggara, Maluku, dan pusat-pusat keilmuan Nusantara. Hingga kini, jejak itu dapat ditelusuri dalam komunitas Muslim pesisir, kampung Arab di Manado, hinggakemantapan identitas keislaman masyarakat Gorontalo dan Bolaang Mongondow.
Sejarah Islam di Laut Sulawesi bukan cerita tentang siapa yang datang, tetapi tentang siapa yang diterima.
Daftar Referensi
- Muhammad Nur Ichsan Azis (2019). Islamisasi di Kawasan Laut Sulawesi Pada Abad ke-19. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 5 No. 1. 0
- Moelsbergen (1928). Catatan perdagangan di Manado.
- Taulu, H.M. (1977). Sejarah Ringkas Masuknya Islam di Sulawesi Utara.
- Schefold, Reimar (1995). Minahasa Past and Present.
- Lapian, A.B. (2008, 2009). Studi pelayaran dan sejarah keagamaan di Laut Sulawesi.
- Sigarlaki & Rompas (1982/1983). Sejarah Masuknya Islam di Manado.
Artikel ini ditulis ulang oleh Arun Algaus
Disclaimer Akademik:Artikel ini disusun berdasarkan interpretasi dan penulisan ulang dari sumber-sumber ilmiah yang telah dicantumkan dalam daftar referensi. Setiap data, temuan, dan analisis asli tetap menjadi milik penulis jurnal atau publikasi akademik yang bersangkutan. Artikel ini tidak bermaksud menggantikan, mengutip secara penuh, atau mereproduksi karya ilmiah tersebut, tetapi menyajikan kembali informasi dalam bentuk narasi populer untuk tujuan edukatif. Pembaca disarankan merujuk langsung pada publikasi asli untuk kajian akademik yang lebih mendalam
Jika artikel ini bermanfaat, jangan lupa subscribe dan bagikan situs www.pena-sehat.com agar semakin banyak yang mengenal sejarah Nusantara.
