NEW UPDATES
Memuat berita terbaru...

Diaspora Sufi di Nusantara: Jejak Islam dari Barus hingga Maluku

Diaspora Kaum <a target="_blank" href="https://www.google.com/search?ved=1t:260882&q=define+Sufi&bbid=8829084881344655606&bpid=231062271660975579" data-preview>Sufi</a> di <a target="_blank" href="https://www.google.com/search?ved=1t:260882&q=define+Nusantara&bbid=8829084881344655606&bpid=231062271660975579" data-preview>Nusantara</a>: Jejak dari Barat ke Timur – Sebuah Feature Sejarah

Diaspora Kaum Sufi di Nusantara: Jejak dari Barat ke Timur

Di antara gelombang laut dan angin musim yang terus berganti, Nusantara menjadi panggung panjang bagi perjalanan spiritual para sufi. Mereka datang dari negeri-negeri jauh—Arab, Persia, Gujarat—menyelinap bersama arus niaga dan pernikahan antarbudaya, lalu perlahan menetap sebagai bagian dari denyut kehidupan kepulauan yang luas ini.

Kisah diaspora sufi di Indonesia bukan sekadar catatan penyebaran agama. Ia adalah cerita tentang bagaimana ajaran ruhani meresap melalui hubungan manusia, melalui pasar, perahu, dan persinggahan di pelabuhan-pelabuhan kecil. Penelitian Nurhayati Abd Rasyid dan Nurdin Nurdin membuka kembali lembaran sejarah ini—menelusuri jejak para sufi sejak abad-abad awal, mulai dari Sumatra hingga wilayah timur Nusantara.

Barus: Gerbang Barat yang Mengundang Para Pencari Tuhan

Semua berawal dari satu kota kecil di pantai barat Sumatra: Barus. Tempat yang dalam banyak manuskrip kuno disebut Fansur ini adalah pintu masuk pertama para sufi ke Nusantara. Di pemakaman Mahligai, nisan bertanggal abad ke-7—antara lain milik Syekh Rukunuddin—menjadi tanda bisu bahwa komunitas Muslim sudah hidup di tanah ini jauh lebih awal dari yang sering kita bayangkan.

Di titik ini pula muncul tokoh besar: Syekh Hamzah Fansuri, sufi Nusantara pertama yang dikenal dunia. Ia berkelana dari Barus ke Baghdad, Makkah, Ayutthaya—mengikat sanad Qadiriyah dari pusat dunia Islam dan membawanya pulang ke tanah kelahirannya. Puisi mistiknya adalah jendela menuju pergulatan spiritual yang membentuk fondasi Sufisme Nusantara.

Fase berikutnya diperkaya oleh muridnya, Syekh Syamsuddin, pencetus ajaran Martabat Tujuh—konsep kosmologis yang membentuk wajah tasawuf di dunia Melayu. Kemudian muncul Syekh Nuruddin ar-Raniri, ulama besar yang pernah menantang ajaran wujudiyah dan menulis karya-karya raksasa dari Aceh hingga Tanah Melayu.

Minangkabau: Ladang Subur Para Ulama Pengembara

Dari Sumatra Barat, gelombang baru sufi lahir. Minangkabau menjadi semacam akademi terbuka tempat para ulama menimba ilmu sebelum menyebarkannya ke seluruh penjuru Nusantara.

Beberapa nama besar muncul: — Syekh Abdus Samad al-Palimbani, ahli fikih dan tasawuf yang menulis karya monumental. — Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama besar Makkah yang mendidik generasi pembaharu seperti Hasyim Asy’ari. — Para “Dato” dari Koto Tangah: Dato Ri Bandang, Dato Ri Tiro, dan Dato Ri Patimang, yang kelak memainkan peran besar di Sulawesi.

Jaringan intelektual Minangkabau ini kelak membentuk arus Sufisme yang bergerak ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Gelombang Besar ke Jawa: Menyusuri Jalan Para Mistikus

Sebelum Wali Songo datang dan memainkan peran kultural besar, tanah Jawa telah lebih dulu disinggahi sejumlah sufi:

  • Syekh Datuk Kahfi dari Malaka, yang membangun pesantren awal di Cirebon.
  • Syekh Maulana Akbar, penyebar tasawuf di Kuningan.
  • Syekh Jumadil Qubro, ulama besar keturunan Samarkand yang disebut sebagai guru para wali.
  • Syekh Quro, ahli tilawah dari Champa yang membuka madrasah di Karawang.

Mereka adalah pembawa fondasi spiritual sebelum jaringan Wali Songo menyebarkan Islam secara kultural dan massal. Narasi yang dibangun penelitian ini menegaskan: Islam di Jawa menyebar bukan hanya melalui kerajaan, tetapi juga melalui sufi perantau yang bergerak dari pesisir ke pedalaman.

Sulawesi: Persinggahan, Perjumpaan, dan Pengakuan Para Raja

Sulawesi adalah panggung penting dalam diaspora sufi. Keislaman pulau ini sering dipusatkan pada peristiwa 1605, ketika Karaeng Matoaya menyatakan syahadat. Namun catatan sejarah menunjukkan, jauh sebelum itu ajaran tasawuf telah dibawa oleh para sayyid keturunan Nabi, termasuk Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang datang sekitar 1320.

Para “Dato” dari Minangkabau lalu memperkuat dakwah ini. — Dato Ri Bandang masuk ke Luwu dan membuka jalan bagi penerimaan Islam oleh kerajaan-kerajaan besar. — Dato Ri Tiro menyebarkan ajaran tasawuf di Bulukumba dan Tanete. — Dato Ri Patimang melanjutkan dakwah hingga ke beberapa kerajaan kecil.

Perjalanan mereka bukan semata kerja dakwah; ia adalah proses transformasi sosial. Di banyak daerah, upacara magis, perjudian, dan ritual lama perlahan digantikan oleh nilai-nilai Sufisme: disiplin batin, zikir, wirid, dan pembinaan moral.

Bolaang Mongondow: Persilangan Arab, Bugis, dan Penguasa Lokal

Masuknya Islam ke tanah Bolaang Mongondow terjadi mengikuti jalur dagang. Pedagang Arab dan Bugis yang menyinggahi pantai selatan laut Sulawesi membawa ajaran tasawuf dalam perjumpaan sehari-hari.

Penelitian menyebutkan bahwa pada 1832 seorang putri raja masuk Islam setelah menikah dengan seorang pedagang Arab bernama Sharif Aluwi. Dalam tradisi lisan serta catatan slag bomb masyarakat Kerajaan Bolango Khususnya, tokoh ini kerap dikenang dengan sebutan Sharif Algaus—sebuah penyebutan yang merujuk pada garis keluarga yang diyakini sebagai bagian dari jejaring pedagang dan pendakwah keturunan Arab di kawasan Donggala yang datang ke Bolaang Mongondow. Meski marga lengkapnya tidak dicantumkan dalam sumber kolonial maupun jurnal akademik, ingatan budaya masyarakat tetap menempatkan figur ini sebagai sosok penting yang membuka ruang perjumpaan antara bangsawan lokal dan Islam.

Dari hubungan pernikahan inilah lahir tokoh-tokoh yang kemudian dikenal dalam silsilah keluarga kerajaan, seperti Syarif Ahmad bin Alwi Algaus Van Gobel dan Syarif Hasan bin Alwi Algaus Manoppo. Mereka menjadi penanda bahwa proses islamisasi tidak hanya berlangsung melalui dakwah dan perniagaan, tetapi juga melalui pembauran keluarga dan integrasi sosial di lingkungan elite kerajaan.

Tidak lama setelah pernikahan tersebut, Raja Jacobus Manuel Manoppo mengajukan permohonan resmi kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memeluk Islam—sebuah langkah politik yang mencerminkan perubahan besar dalam orientasi budaya dan kekuasaan lokal. Proses ini sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan kekeluargaan dengan para pendatang Arab dapat mempercepat penerimaan Islam di dalam istana dan memberi arah baru bagi struktur sosial Bolaang Mongondow.

Ketika Raja Cornelis Manoppo kembali dari Jawa pada 1907, ia menyandang gelar “Datoe”. Inilah penanda kuat bahwa jaringan tasawuf dan ulama dari Minangkabau telah memengaruhi elite Mongondow.

Tengah Sulawesi: Jejak Dato Karama dan Dato Mangaji

Di Lembah Palu, ajaran tasawuf mengalir melalui tokoh legendaris Dato Karama, seorang ulama Minangkabau yang datang pada masa Raja Kabonena. Ia membawa ajaran Syattariyah melalui zikir dan laku spiritual yang dihayati masyarakat Kaili.

Sementara itu di Parigi, Dato Mangaji memperkenalkan tauhid dan disiplin tasawuf meski awalnya menemui perlawanan keras—bahkan kekerasan fisik. Namun akhirnya Magau Parigi memeluk Islam, menjadikan ajaran sufi sebagai bagian dari identitas kerajaan.

Maluku: Empat Kerajaan Islam yang Mengakar pada Perdagangan

Sama seperti kawasan lain di Nusantara, Maluku menerima Islam melalui jalur perdagangan internasional abad ke-15. Tokoh seperti Sheikh Mansur di Tidore dan Datu Maulana Hussein di Ternate menjadi pilar awal penyebaran ajaran sufi.

Ketika Sultan Zainal Abidin pergi menimba ilmu kepada Sunan Giri, ia membawa pulang lebih dari sekadar syariat; ia membawa tradisi ruhani yang menyatukan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo sebagai empat kerajaan Islam (Maluku Kie Raha).

Penutup: Sufisme yang Menyatukan Pulau-Pulau

Dari penelitian Rasyid dan Nurdin, kita melihat bahwa ajaran sufi menyebar bukan melalui kekuatan politik, melainkan melalui kekuatan hubungan manusia. Para sufi bergerak dari barat ke timur, menanamkan nilai-nilai moral di tempat yang mereka singgahi—pelabuhan, perkampungan, rumah raja, sampai lembah pedalaman.

Jejak mereka menjahit Nusantara menjadi satu kesatuan spiritual. Dalam tiap makam, nisan tua, dan tradisi zikir yang masih bertahan, kita menemukan pesan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah perjumpaan—perjumpaan dagang, budaya, dan pencarian Tuhan.


Daftar Referensi (dari jurnal asli)

  • Nurhayati Abd Rasyid & Nurdin Nurdin (2021). The Diaspora of the Sufis in Indonesia: Moving from Western to Eastern Islands. International Journal of History and Philosophical Research, Vol. 9 No. 1. 0
  • Adriani & Kruijt (1912). De Bare’e-Sprekende Toradja’s.
  • Pelras, C. (1985). Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi.
  • Kosel, S. (2010). The History of Islam in Bolaang Mangondow.
  • Haliadi-Sadi & Syamsuri (2016). Sejarah Islam di Lembah Palu.
  • Reid, Anthony (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.

Disclaimer Akademik

Artikel ini disusun kembali secara editorial berdasarkan jurnal ilmiah yang tercantum pada daftar referensi. Seluruh data primer, temuan, dan analisis orisinal tetap menjadi milik penulis penelitian tersebut. Artikel ini hanya menyajikan ulang informasi dalam bentuk narasi populer untuk tujuan edukatif.

Disusun kembali secara editorial oleh Arun Algaus berdasarkan penelitian Nurhayati Abd Rasyid & Nurdin Nurdin (IAIN Palu).

Jika artikel ini bermanfaat, jangan lupa subs­cribe dan bagikan situs www.pena-sehat.com.

Lebih baru Lebih lama