NEW UPDATES
Memuat berita terbaru...

Legenda Ikan Duyun dan Ikan Pari: Kisah Ibu, Anak, dan Laut dalam Tradisi Bolango

<a target="_blank" href="https://www.google.com/search?ved=1t:260882&q=Legenda+Ikan+Duyun+dan+Ikan+Pari&bbid=8829084881344655606&bpid=7862099852130728548" data-preview>Legenda Ikan Duyun dan Ikan Pari</a> | <a target="_blank" href="https://www.google.com/search?ved=1t:260882&q=Kisah+Rakyat+Bolango&bbid=8829084881344655606&bpid=7862099852130728548" data-preview>Kisah Rakyat Bolango</a>

Oleh: Ishak Goma
Editor: Tim Pena Sehat


Legenda Ikan Duyun, Ikan Pari, dan Burung Pantai

Dalam legenda yang dipercaya masyarakat pesisir Bolango, hiduplah sebuah kisah yang kerap diceritakan dari mulut ke mulut, terutama di kalangan nelayan sebelum melaut. Konon menurut cerita turun-temurun, kisah ini bukan sekadar dongeng pengantar waktu, melainkan simbol tentang cinta, kehilangan, dan ikatan batin yang tak mudah terputus.

Dalam kisah yang hidup di tengah masyarakat itu, diceritakan tentang seorang ibu yang hidup sebagai janda bersama dua orang anaknya di sebuah kampung sunyi di tepi laut. Kehidupan mereka sederhana, jauh dari kemewahan, namun sang ibu menyimpan satu benda yang dianggap sangat berharga. Benda itu disimpan rapi dalam sebuah ruas bambu dan tidak pernah disentuh sembarangan.

Kepada kedua anaknya, sang ibu berpesan dengan bahasa Bolango, “ege amudea buasa yitu”—sebuah larangan yang bermakna agar mereka tidak membuka atau menyentuh bambu tersebut. Bagi sang ibu, bambu itu bukan sekadar tempat penyimpanan, melainkan simbol kerinduan dan kenangan yang disimpannya dalam diam.

Suatu ketika, saat sang ibu tidak berada di rumah, rasa lapar dan rasa ingin tahu menyatu dalam diri kedua anaknya. Dorongan penasaran membuat mereka melanggar pesan ibunya. Mereka membuka bambu itu, dan dalam sekejap terjadi peristiwa yang tak pernah mereka bayangkan. Isi bambu tersebut seakan melompat pergi, menghilang dari tempatnya, seolah kembali ke alam sunyi.

Ketika sang ibu pulang dan mendapati bambu itu telah terbuka dan kosong, hatinya diliputi amarah, kekecewaan, dan luka yang dalam. Dalam legenda ini, perasaan sang ibu digambarkan sebagai duka yang tak terucap, luka batin yang tak sanggup dijelaskan dengan kata-kata. Tanpa memarahi panjang lebar, ia memilih pergi meninggalkan rumah.

Dengan mengenakan tolu, topi lebar yang biasa dipakainya saat bekerja, sang ibu melangkah menuju pantai. Kedua anaknya berlari mengejar sambil memanggil-manggil dengan suara lirih penuh tangis, “Inangku-inangku wakutimane-timane”—ibu, ibu, tunggulah kami. Namun sang ibu menjawab dengan kalimat yang sarat kepedihan, menandakan betapa hatinya telah remuk oleh kehilangan.

Sepanjang perjalanan, dalam kisah ini, sang ibu hanya meneteskan air susu ke atas sehelai daun sebagai bekal terakhir bagi anaknya yang masih menyusu. Isyarat itu dipahami masyarakat sebagai lambang kasih yang tetap mengalir, meski langkahnya menjauh.

Sesampainya di tepi pantai, sang ibu berdiri di atas batu karang, menatap laut yang luas dan tak bertepi. Ombak dan angin menjadi saksi bisu dari keputusan yang lahir dari luka batin. Tanpa sepatah kata lagi, ia menenggelamkan dirinya ke dalam lautan.

Namun dalam legenda yang dipercaya masyarakat, laut bukan hanya tempat lenyap, melainkan ruang lahirnya keajaiban. Dari peristiwa itu, diceritakan bahwa tolu sang ibu yang hanyut perlahan berubah menjadi ikan pari, melayang di kedalaman laut seperti payung yang tenang namun menyimpan misteri. Sang ibu sendiri bertransformasi menjadi ikan duyun, makhluk laut yang lembut, hangat, dan penuh kasih, sebagaimana sifat keibuan yang tak pernah benar-benar hilang.

Kedua anak yang menyaksikan peristiwa itu menangis hingga suara mereka menyatu dengan angin pantai. Dalam kisah simbolik ini, tubuh mereka mengecil dan berubah menjadi burung-burung pantai yang kini hidup di pesisir, berkicau setiap hari seakan memanggil ibunya yang telah menyatu dengan laut.

Hingga kini, dalam legenda yang terus hidup di tengah masyarakat pesisir Bolango, dipercaya bahwa ikan pari adalah jelmaan tolu sang ibu yang menjaga lautan, ikan duyun adalah sang ibu sendiri yang tetap mengawasi dari kedalaman, dan burung-burung pantai adalah kedua anak yang setia menunggu, memanggil dengan suara yang tak pernah lelah.

Kisah ini kerap diceritakan kembali sebelum para nelayan melaut. Dalam kepercayaan masyarakat, bercerita tentang legenda-legenda seperti ini diyakini membawa keberkahan dan hasil tangkapan yang melimpah, sekaligus menjadi pengingat akan nilai kasih sayang, penyesalan, dan hubungan batin antara manusia dan alam.

Disclaimer Legenda

Legenda ini merupakan bagian dari tradisi lisan masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun. Kisah yang disajikan bersifat simbolik dan kultural, bukan catatan sejarah atau fakta ilmiah. Dalam tradisi masyarakat suku Bolango, cerita-cerita legenda kerap dituturkan sebelum melaut sebagai bagian dari kepercayaan dan warisan budaya, dengan harapan menghadirkan keberkahan serta menjaga hubungan harmonis antara manusia dan laut.
Lebih baru Lebih lama