Oleh: Arun Algaus
Editor: Tim Pena Sehat
Papantung sebagai Cermin Relasi Manusia dan Lingkungan
Sastra lisan merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat tradisional Indonesia, termasuk masyarakat Suku Sangihe di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Dalam konteks ini, papantung—tradisi pantun lisan masyarakat Sangihe—menjadi salah satu bentuk ekspresi budaya yang merekam cara pandang masyarakat terhadap kehidupan, nilai sosial, dan lingkungan alam di sekitarnya.
Jurnal yang ditulis oleh Sarleoki Nancy Umkeketony dan Setya Yuwana Sudikan mengkaji secara khusus bagaimana lingkungan hidup direpresentasikan melalui bunyi bahasa dalam papantung masyarakat Suku Sangihe di Desa Manente, Kecamatan Tahuna. Kajian ini menempatkan papantung tidak sekadar sebagai karya estetis, tetapi juga sebagai medium pewarisan nilai dan pengalaman kolektif masyarakat.
Sastra Lisan dalam Kehidupan Masyarakat Sangihe
Dalam sejarah kebudayaan Sangihe, sastra hadir terutama dalam bentuk lisan. Pada masa lalu, masyarakat Sangihe tidak mengenal tradisi sastra tulis; sastra lisan justru menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan berfungsi sebagai pedoman dalam tatanan sosial. Papantung, yang dalam konteks kesusastraan Indonesia digolongkan sebagai puisi lama, hidup dan berkembang melalui tradisi tutur yang diwariskan secara terbatas.
Papantung biasanya disampaikan dalam bahasa Talaud dan dinyanyikan pada kegiatan adat tertentu, seperti perkawinan adat dan Upacara Adat Tulude. Dalam praktiknya, papantung dilakukan secara berbalas-balasan, baik antarindividu maupun antarkelompok, dengan struktur bait empat baris. Di dalamnya terkandung pengajaran moral, kiasan kehidupan, serta nilai estetik yang dapat ditangkap secara tersurat maupun tersirat.
Pendekatan Ekostilistika dalam Kajian Papantung
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kajian ekostilistika. Pendekatan tersebut digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara unsur lingkungan dan gaya bahasa dalam sastra lisan papantung. Proses penelitian dilakukan melalui penetapan informan, wawancara, pengajuan pertanyaan deskriptif dan struktural, serta penentuan tema-tema budaya yang muncul dari tuturan papantung.
Melalui kajian ekostilistika, papantung dipahami sebagai bentuk sastra yang tidak terlepas dari pengalaman ekologis masyarakat Sangihe. Lingkungan alam hadir bukan hanya sebagai latar, tetapi juga sebagai bagian dari struktur bunyi dan makna yang membentuk keindahan pantun.
Representasi Alam melalui Bunyi Bahasa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek bunyi bahasa memegang peranan penting dalam papantung. Puisi dalam tradisi lisan Sangihe dirancang untuk disuarakan, bukan sekadar dibaca. Keindahan papantung sangat ditentukan oleh persajakan, aliterasi, dan asonansi yang muncul melalui pengulangan konsonan dan vokal.
Dalam contoh-contoh papantung yang dianalisis, terlihat bahwa persajakan muncul di awal, tengah, maupun akhir kata, serta pada akhir larik. Pengulangan bunyi vokal tertentu, seperti u, a, atau au, menciptakan keselarasan bunyi yang membuat pantun terdengar enak didengar dan mudah diingat. Unsur bunyi ini sekaligus memperkuat daya estetis dan makna yang ingin disampaikan pemantun.
Representasi lingkungan hidup dalam papantung tidak hadir dalam bentuk deskripsi eksplisit, melainkan tersirat melalui pilihan kata dan bunyi yang merujuk pada alam sekitar, seperti pulau, pantai, pohon, dan aktivitas manusia yang berhubungan dengan lingkungan. Dengan demikian, bunyi bahasa menjadi sarana penting dalam menghadirkan pengalaman ekologis masyarakat Sangihe.
Makna Estetik dan Fungsi Budaya Papantung
Keindahan papantung tidak hanya terletak pada struktur fisik bunyinya, tetapi juga pada struktur batin yang mengandung nilai pengajaran. Melalui pantun, masyarakat Sangihe menyampaikan cara pandang hidup, nasihat, serta tata nilai yang diharapkan dapat dipahami oleh pendengar. Papantung berfungsi sebagai media komunikasi budaya yang menghubungkan generasi terdahulu dengan generasi berikutnya.
Namun, penelitian ini juga menyoroti tantangan dalam pelestarian sastra lisan Sangihe. Berkurangnya penutur yang masih menguasai papantung, keterbatasan pewarisan, serta minimnya dokumentasi tertulis menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan tradisi ini.
Penutup
Kajian terhadap representasi lingkungan hidup dalam papantung masyarakat Suku Sangihe menunjukkan bahwa aspek bunyi bahasa memiliki peran sentral dalam membangun keindahan dan makna sastra lisan. Melalui persajakan dan pengulangan bunyi, papantung tidak hanya menghadirkan estetika, tetapi juga merekam relasi manusia dengan lingkungan dan nilai kehidupan yang dijunjung masyarakat.
Penelitian ini menegaskan pentingnya upaya pelestarian sastra lisan sebagai bagian dari warisan budaya. Papantung bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber pengetahuan budaya yang relevan untuk dipahami dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Referensi
- Umkeketony, S. N., & Sudikan, S. Y. (2019). Representasi Lingkungan Hidup dalam Papantung Masyarakat Suku Sangihe di Desa Manente Kecamatan Tahuna Kabupaten Sangihe (Kajian Ekostilistika). ELite Journal: International Journal of Education, Language, and Literature, Vol. 1, No. 2, hlm. 45–48. 0
- Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
- Endraswara, S. (2016). Metodologi Penelitian Ekologi Sastra. Yogyakarta: CAPS.
- Sudikan, S. Y. (2015). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Disclaimer Akademik
Artikel ini disusun berdasarkan jurnal ilmiah sebagai sumber utama. Untuk pemahaman yang lebih mendalam dan keperluan akademik, pembaca disarankan mengakses dan membaca jurnal asli yang menjadi rujukan artikel ini.
