Oleh: Arun Algaus
Editor: Tim Pena Sehat
Ketika Diam Menjadi Cara Bertahan
Di tengah derasnya arus opini dan penilaian di ruang digital maupun kehidupan sehari-hari, nasihat motivasi kerap hadir dalam bentuk singkat dan padat. Media sosial menjadi tempat berbagai pesan reflektif dibagikan, sering kali mengajak kita melihat kembali sikap-sikap yang selama ini dianggap biasa. Salah satu tema yang berulang muncul adalah soal diam—sebuah sikap yang kerap disalahpahami karena hanya dilihat dari permukaannya.
Tidak jarang, keheningan dianggap sebagai tanda sikap dingin, menjaga jarak, atau bahkan merasa lebih tinggi dari orang lain. Padahal, di balik pilihan untuk tidak banyak bicara, bisa tersembunyi proses batin yang jauh lebih kompleks. Diam tidak selalu lahir dari keengganan berinteraksi, melainkan dari kebutuhan untuk menata diri di tengah tekanan yang tidak terlihat oleh siapa pun.
Ada kalanya seseorang memilih berhenti sejenak dari hiruk-pikuk percakapan karena pikirannya sedang penuh. Dalam ruang sunyi itu, ia berusaha merapikan perasaan, menimbang kata, atau sekadar memastikan dirinya tidak bereaksi secara impulsif. Diam menjadi jeda, bukan penolakan. Sebuah cara agar emosi tidak tumpah dalam bentuk yang justru melukai diri sendiri maupun orang lain.
Dalam relasi sosial, kita sering lupa bahwa setiap individu membawa beban hidupnya masing-masing. Tidak semua yang berat tampak dari luar. Ada luka yang belum siap diceritakan, ada kegelisahan yang masih mencari bentuk. Ketika seseorang memilih mundur dari percakapan atau terlihat lebih tenang dari biasanya, bukan berarti ia merasa lebih benar atau lebih tahu. Bisa jadi, ia sedang berusaha jujur pada dirinya sendiri.
Dari sudut pandang reflektif, diam juga dapat dipahami sebagai bentuk kebijaksanaan yang sederhana namun bermakna. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu segera ditanggapi, dan tidak setiap konflik harus diumbar. Ada proses yang memang lebih sehat jika diselesaikan di dalam diri, jauh dari sorotan dan penilaian. Dalam konteks ini, diam bukan kelemahan, melainkan upaya menjaga keseimbangan.
Karena itu, sebelum terburu-buru menilai sikap orang lain, ada baiknya memberi ruang dan waktu. Mungkin mereka yang terlihat menjauh justru sedang berjuang agar tidak runtuh. Dalam keheningan itu, bukan kesombongan yang sedang dibangun, melainkan usaha untuk bertahan—agar suatu hari dapat kembali hadir dengan hati yang lebih utuh dan pikiran yang lebih tenang.
Sumber Konten:
– Konten publik media sosial TikTok:
https://vt.tiktok.com/ZSP5sqXu6/
Disclaimer
Artikel ini disusun sebagai refleksi dan edukasi umum berdasarkan konten publik di media sosial.
Isi artikel tidak dimaksudkan sebagai nasihat profesional, rujukan ilmiah, atau panduan khusus dalam bidang tertentu.
Pembaca diharapkan menyikapi setiap informasi secara bijak dan kritis.
