Sayyidah Khadijah binti Khuwailid: Wanita Mulia Penghuni Surga
Malam itu sunyi. Angin padang pasir berhembus pelan, membawa butiran pasir yang menari dalam cahaya bulan. Di tengah keheningan Makkah, seorang wanita mulia melangkah pelan tapi pasti, menapaki bebatuan terjal menuju Gua Hira.

Dialah Sayyidah Khadijah, istri pertama Rasulullah ﷺ, wanita pertama yang beriman, pendamping setia yang hatinya dipenuhi cinta dan pengorbanan. Di tangannya, ia membawa makanan dan air dalam bejana, langkahnya tertatih, namun hatinya kokoh. Jarak dari rumahnya ke Gua Hira bukanlah perjalanan yang mudah.
Ia melewati lebih dari lima kilometer jalur berbatu dan mendaki Jabal Nur yang curam. Setiap langkah adalah bukti cintanya. Setiap tetesan keringat adalah pengorbanannya. Ia tidak hanya mengantarkan makanan, tetapi mengantar cinta yang tak pernah letih untuk Nabi tercinta.
Khadijah tahu bahwa suaminya, Muhammad ﷺ, sering menyendiri di sana, bertafakur, merenungi penciptaan, menjauhi hiruk-pikuk dunia yang penuh kebatilan. Tapi dalam kesunyian itu, Muhammad ﷺ tetap manusia. Ia perlu makanan, minuman, dan dukungan. Di sanalah Khadijah hadir — tanpa diminta, tanpa mengeluh.
Setiap kali ia sampai di mulut gua, melihat wajah Rasulullah ﷺ yang bersinar dalam kesunyian malam, lelahnya sirna. Senyum beliau adalah pelunasan atas seluruh letih.
Hingga suatu malam, sesuatu yang agung terjadi. Jibril ‘alaihissalam datang membawa wahyu. Rasulullah ﷺ kembali ke rumah dalam keadaan menggigil ketakutan. Dan Khadijah, tanpa ragu, memeluknya dan berkata:
“Demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, berkata jujur, menanggung beban orang lain, memuliakan tamu, dan menolong setiap musibah demi kebenaran.”
Dialah orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ. Tanpa bertanya-tanya, tanpa ragu. Karena ia mengenal akhlak suaminya lebih dari siapa pun.
Tak lama setelah itu, Jibril kembali menemui Rasulullah ﷺ dan berkata:
"Wahai Rasulullah, ini Khadijah telah datang dengan membawa bejana berisi makanan dan minuman untukmu. Jika ia telah datang kepadamu, sampaikanlah salam dari Rabb-nya dan dariku, serta beritakan kepadanya kabar gembira tentang sebuah rumah di surga dari mutiara yang tidak ada kebisingan dan kelelahan di dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Bayangkan, Allah mengirimkan salam-Nya langsung pada seorang wanita. Itu bukan wanita biasa. Itulah Khadijah, Ummul Mukminin.
Wanita Dermawan dari Keturunan Terhormat
Khadijah berasal dari kabilah Quraisy yang terpandang, keturunan Bani Asad bin Abdul ‘Uzza. Ia seorang saudagar sukses yang terkenal akan kejujurannya dalam berdagang. Bahkan sebelum menikah dengan Rasulullah ﷺ, Khadijah dikenal sebagai Thahiroh, wanita suci dan bersih.
Ia pernah menikah dua kali dan menjadi janda dengan harta yang berlimpah. Namun hatinya tetap bersih. Banyak bangsawan Quraisy yang melamarnya, namun Khadijah menolaknya — sampai ia mengenal Muhammad bin Abdullah, seorang pemuda jujur yang menjadi kepercayaannya dalam bisnis.
Awal Cinta dan Pernikahan yang Diberkahi
Khadijah meminjamkan hartanya untuk Muhammad ﷺ menjalankan bisnis ke Syam. Lalu ia mendengar bagaimana pembantunya, Maisarah, menceritakan kejujuran dan akhlak luar biasa dari Muhammad ﷺ selama di perjalanan. Hatinya pun yakin. Ia pun mengirimkan lamaran secara halus — dan Nabi ﷺ menerimanya dengan bahagia. Saat itu, usia Khadijah 40 tahun, sedangkan Rasulullah ﷺ 25 tahun.
Sejak hari itu, rumah mereka menjadi rumah yang penuh keberkahan. Dari pernikahan ini, lahir anak-anak yang mulia: Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah.
Khadijah adalah satu-satunya istri Rasulullah ﷺ selama ia hidup. Tidak ada wanita lain yang Nabi ﷺ nikahi saat Khadijah masih hidup. Itu adalah kemuliaan dan cinta yang tak tertandingi.
Pilar Dakwah yang Pertama
Ketika Rasulullah ﷺ menerima wahyu pertama, Islam belum dikenal. Umat pun belum ada. Tapi Khadijah ada. Ia menjadi umat pertama. Ia menjadi harta pertama dakwah. Ia menjadi pelindung pertama risalah langit.
Ia menyerahkan seluruh hartanya untuk Islam. Ia menyediakan rumahnya sebagai markas dakwah. Ia menenangkan Rasulullah ﷺ setiap kali dihina, disakiti, ditolak oleh kaum Quraisy. Ia berdiri kokoh ketika dunia menolak, karena keyakinannya tak dibangun dari logika dunia, tapi dari cinta dan iman yang dalam.
Sahabat pembaca yang dirahmati Allah, jika engkau merasa tersentuh oleh kisah Khadijah ini, yuk bantu kami menyebarkan keteladanannya.
Bagikan artikel ini kepada keluarga dan sahabatmu. Ikuti juga kanal dakwah kami di platform sosial (TikTok, YouTube, atau Telegram) agar lebih banyak yang mengenal wanita penghuni surga ini. Dukunganmu, sekecil apa pun, adalah bagian dari jalan dakwah.
Boikot dan Tahun Kesedihan
Rasulullah ﷺ, Khadijah, dan para pengikut Islam mengalami pemboikotan keras oleh kaum Quraisy. Mereka diasingkan di Syi’ib Abu Thalib, hidup dalam kelaparan dan penderitaan. Di masa inilah Khadijah menghabiskan hartanya yang terakhir, demi menafkahi kaum muslimin. Ia menanggung lapar, haus, dan derita bersama suaminya.
Hingga akhirnya, Khadijah jatuh sakit karena usia dan beban fisik yang berat. Tak lama setelah pemboikotan berakhir, di tahun ke-10 kenabian, Khadijah wafat. Tahun itu dikenal dengan ‘Aamul Huzn — Tahun Kesedihan.
Lihat Juga: Kisah Abu Hazim dan Khalifah Sulaiman
Rasulullah ﷺ sangat kehilangan. Ia tidak pernah melupakan Khadijah. Ia menyebut nama Khadijah bahkan bertahun-tahun setelah wafatnya. Ia mengirim hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah. Ia menangis mengenang cinta pertamanya. Ketika Aisyah cemburu, Nabi ﷺ berkata:
“Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku saat orang-orang mendustakanku. Dia menolongku dengan hartanya saat orang-orang menahannya dariku. Dan Allah mengaruniakanku anak darinya, tidak dari istri-istriku yang lain.” (HR. Ahmad)
Sahabat, jika kisah ini menyentuh hatimu, jangan ragu untuk membagikannya. Satu klikmu bisa menjadi jalan hidayah bagi yang lain.
Ingin konten seperti ini hadir rutin? Yuk, berlangganan Gratis dan jadi bagian dari dakwah ini.
Warisan Abadi
Khadijah tidak meninggalkan buku, tidak meninggalkan orasi, tidak mencatat sejarah. Tapi ia meninggalkan jejak keteladanan yang akan hidup selama Islam masih ada. Ia mengajarkan bahwa kekuatan perempuan bukan hanya di rumah, tapi dalam cinta, iman, dan pengorbanan.
Semoga Allah meridhainya. Semoga para wanita Muslimah di zaman ini bisa mengambil cahaya dari hatinya yang agung.
Referensi:
- Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah
- Al-Bidayah wa An-Nihayah – Ibnu Katsir
- Thabaqat Ibnu Sa’d
- Shahih Bukhari No. 3820
- Shahih Muslim No. 2432
- Musnad Ahmad, Kitab al-Zuhd