Rumahku Surgaku: Makna Rumah sebagai Masjid dan Madrasah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
Khutbah Jumat hari ini mengajak kita menengok kembali jantung kehidupan: rumah. Dari ambang pintunya, lahir kedamaian; di ruang-ruangnya, tumbuh ibadah; pada pangkuannya, disemai ilmu. Rumah bukan sekadar alamat—ia bisa menjadi surga kecil, masjid yang hidup, dan madrasah pertama bagi anak-anak kita. Landasannya kokoh: Al-Qur’an, sunnah, dan hikmah para ulama.
Landasan Qur’ani: Lemah-Lembut yang Menghidupkan Rumah (QS Ali ‘Imran: 159)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنْفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ...
Terjemah (Kemenag RI): “Maka disebabkan rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali ‘Imran: 159).
Ayat ini sering dibahas dalam konteks kepemimpinan Rasulullah ﷺ. Namun, cahaya bimbingannya menyinari juga kepemimpinan di rumah. Suami-istri yang memimpin keluarganya dengan lutf (kelembutan), memaafkan, dan bermusyawarah, sejatinya sedang menghidupkan “masjid” dalam rumah: tempat ibadah yang damai, tempat hati betah berlama-lama. Kelembutan bukan kelemahan—ia adalah strategi Qur’ani menumbuhkan cinta, disiplin, dan ketenangan.
“Rumahku Surgaku”: Hikmah yang Bekerja Sehari-hari
Ungkapan “Baitî Jannatî” (rumahku surgaku) populer sebagai hikmah di kalangan kaum muslimin. Meski bukan lafaz hadis sahih, maknanya selaras dengan semangat syariat: rumah yang dinaungi rahmah, zikir, dan ilmu, menjadi taman teduh sebelum surga yang hakiki. Ia bukan surga karena mewah, melainkan karena ibadah dan akhlak mewujud nyata di dalamnya.
Surga kecil itu dibangun pelan-pelan: dari salam yang tulus saat membuka pintu, wudu yang ringan, shalat yang khusyuk, kitab suci yang dibaca rutin, lidah yang dijaga dari celaan, meja makan yang diberkahi doa, dan tempat tidur yang ditutup dzikir. Potongan-potongan ibadah itu, dirangkai hari demi hari, berubah menjadi atmosfer surgawi.
Rumah sebagai Masjid: Menghidupkan Ibadah di Dalam Rumah
Masjid adalah jantung komunitas; rumah adalah jantung keluarga. Keduanya saling menguatkan. Rasulullah ﷺ menganjurkan agar sebagian ibadah—khususnya shalat sunnah—ditunaikan di rumah:
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan: laki-laki diwajibkan berjamaah untuk shalat fardhu menurut banyak ulama, sementara shalat sunnah sangat dianjurkan dilakukan di rumah. Mengapa? Agar rumah bercahaya ibadah, agar anak-anak menyaksikan gerak shalat, agar dinding-dinding rumah akrab dengan takbir dan tasbih. Rumah yang menyaksikan shalat sunnah akan akrab pula dengan sakinah.
Selain shalat, Rasulullah ﷺ mengingatkan agar rumah tidak dibiarkan “mati”:
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim).
Artinya, bacaan Al-Qur’an—minimal sebagian Surah Al-Baqarah secara rutin atau terjadwal—adalah benteng tak terlihat yang menyehatkan suasana rumah, menenangkan jiwa, dan menjaga keluarga dari rasa gersang spiritual.
Membaca Al-Qur’an: Sumber Ketenangan dan Keakraban
Nabi ﷺ bersabda:
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), membaca Kitab Allah dan mempelajarinya bersama, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat meliputi mereka, para malaikat menaungi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya.” (HR. Muslim).
Walau hadis ini menyebut “rumah Allah”, semangatnya dapat kita bawa ke rumah-rumah kita: bentuk halaqah keluarga selepas Maghrib—membaca beberapa ayat, menyalin satu hikmah, bertanya jawab santai—cukup untuk menurunkan ketenangan, merapatkan ikatan, dan menanamkan kecintaan pada Al-Qur’an sejak dini.
Rumah sebagai Madrasah Pertama: Orang Tua adalah Guru Utama
Di masjid ada kajian, di rumah ada teladan; di madrasah ada kurikulum, di rumah ada keintiman. Keduanya harus bersinergi. Para ulama menekankan, pendidikan anak berawal dari uswah (teladan) dan ‘adah (kebiasaan) yang konsisten. Rumah yang menjadi madrasah pertama mengenalkan adab berpakaian, adab makan, adab berbicara, adab bertamu, hingga adab bertegur sapa dengan tetangga.
Strateginya sederhana namun mendalam:
- Rutinkan “waktu Qur’an” keluarga 10–20 menit setiap hari.
- Shalat sunnah di rumah (rawatib, witir, dhuha bila memungkinkan) agar anak melihat dan meniru.
- Perpustakaan mini berisi mushaf, buku sirah, dan buku adab anak.
- Bahasa yang lembut saat menegur, sejalan dengan spirit Ali ‘Imran:159.
- Musyawarah keluarga untuk keputusan-keputusan kecil: jadwal piket, sedekah, pilihan menu, atau rencana liburan.
Ketika rumah menjadi madrasah, pelajaran paling kuat bukan ceramah panjang, melainkan ritme keseharian yang konsisten. Anak belajar bahwa Islam itu hadir di meja sarapan, di antrean kamar mandi, di kebun kecil halaman belakang—bukan hanya di bangku kelas.
Blueprint Praktis: Menghidupkan “Masjid” dan “Madrasah” di Rumah
- Tata ruang ibadah. Sediakan sudut shalat dengan sajadah dan tempat mushaf. Jaga kebersihan dan wangi—kebersihan memantulkan sakinah.
- Agenda ibadah harian. Minimal: tilawah bersama (3–10 ayat), satu doa, satu zikir ma’tsur, dan satu adab pendek.
- Shalat sunnah di rumah. Utamakan rawatib dan witir. Ayah shalat fardhu berjamaah di masjid, lalu sunnahnya di rumah—anak menyaksikan langsung.
- Halaqah Jumat malam. Ringankan dengan kisah Nabi, tafsir singkat ayat, atau tadabbur satu kalimat doa.
- Musyawarah keluarga bulanan. Belajar dari Ali ‘Imran:159, tetapkan target ibadah dan pembiasaan, dengan napas memaafkan dan saling menguatkan.
- Jurnal syukur. Catat 3 nikmat harian; ajarkan rasa cukup dan perspektif positif.
- Puasa sunnah bersama. Senin-Kamis atau Ayyamul Bidh; latih disiplin dan empati.
- Ekologi suara. Putar murottal dengan volume lembut pagi/sore; hindari kebisingan yang mengaburkan ketenangan.
Menjaga Keseimbangan: Masjid dan Rumah Bukan Kompetitor
Sebagian orang khawatir: bila ibadah sunnah dipusatkan di rumah, apakah masjid akan sepi? Justru sebaliknya—rumah yang hidup ibadahnya cenderung melahirkan jamaah masjid yang konsisten. Masjid menguatkan ukhuwwah sosial dan ruhul jama’ah; rumah menanamkan kebiasaan dan keteladanan privat. Keduanya seperti dua sayap: melemah salah satunya akan mengganggu terbangnya keluarga menuju ridha Allah.
Etika Lembut: Fondasi Semua Upaya
Kembali pada Ali ‘Imran:159, tiga pilar etika menumbuhkan rumah sebagai surga kecil adalah:
- Memaafkan (fa‘fu ‘anhum): pelarut kekakuan, membuka pintu dialog.
- Memohonkan ampun (wastaghfir lahum): mengakui bahwa manusia tak luput salah.
- Bermusyawarah (wa shāwirhum fil amr): menumbuhkan ownership bersama, dari anak hingga orang tua.
Tiga pilar ini bukan konsep abstrak; ia bisa dibumikan pada hal-hal kecil: cara menatap saat menegur, intonasi suara, memberi jeda sebelum merespons, memeluk sebelum menasihati, dan mengucap “maaf” dengan tulus saat kita keliru.
FAQ Ringkas: Isu-isu yang Sering Ditanyakan
1) Apakah laki-laki boleh shalat sunnah di masjid?
Boleh. Namun, afdhal-nya bagi laki-laki adalah shalat sunnah di rumah, sebagaimana dorongan Nabi ﷺ agar rumah hidup dengan ibadah. Shalat fardhu tetap diutamakan berjamaah di masjid.
2) Bagaimana bila rumah sempit?
Cukup sediakan sudut kecil. Kualitas khusyuk lebih penting daripada luasnya ruang.
3) Apakah membaca Al-Qur’an harus satu juz per hari?
Tidak. Mulailah dari yang sanggup dan konsisten—beberapa ayat pun bila rutin akan menjadi cahaya.
Penutup: Menyalakan Pelita di Dalam Rumah
Surga dunia tidak selalu berbentuk taman luas; kadang ia sekecil ruang keluarga yang bersih, tempat suami-istri saling merendah, anak-anak belajar tertib, dan mushaf tergeletak di meja dengan halaman yang terus bergerak. Jadikan rumah kita masjid yang hangat dan madrasah yang hidup. Mulailah malam ini: shalat sunnah dua rakaat bersama, tilawah lima ayat, lalu saling mendoakan. Pelita itu menyala seterang niat kita.
Referensi
- Al-Qur’anul Karim. Terjemah Resmi Kementerian Agama RI (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an), khususnya QS Ali ‘Imran: 159.
- Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: hadis “Afdhal ash-shalat fi al-bayt illa al-maktubah.”
- Muslim, Shahih Muslim: hadis keutamaan shalat sunnah di rumah; hadis “Jangan jadikan rumah seperti kuburan; setan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah.”
- Muslim, Shahih Muslim: hadis majelis Al-Qur’an: ketenangan turun, rahmat meliputi, malaikat menaungi.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, tafsir QS Ali ‘Imran: 159.
- Al-Muyassar (Taisir al-Karim ar-Rahman), tafsir QS Ali ‘Imran: 159.
- Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, penjelasan adab kepemimpinan dan musyawarah dalam keluarga.
- Artikel keislaman media nasional yang kredibel untuk konteks dan edukasi masyarakat (mis. Republika, NU Online, Muhammadiyah.or.id) selaras dengan dalil primer di atas.
Catatan: Lafaz “Baitî Jannatî (Rumahku Surgaku)” populer sebagai hikmah, bukan hadis sahih yang marfu‘, namun maknanya sejalan dengan prinsip menghidupkan ibadah dan adab di rumah.