NEW UPDATES
Memuat berita terbaru...

Alexander the Great vs Dzulqarnain: Kajian Sejarah Islam dan Tafsir Al-Kahf

Alexander the Great Bukan Dzulqarnain | Tinjauan Sejarah & Tafsir

Oleh: Arun Algaus
Editor: Tim Pena Sehat

Alexander the Great vs Dzulqarnain: Kajian Sejarah Islam

dan Tafsir Al-Kahf

Mengapa Alexander the Great Bukan Dzulqarnain?

Perdebatan mengenai identitas Dzulqarnain yang disebut dalam Surah al-Kahf telah berlangsung lama dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satu pandangan yang kerap muncul adalah upaya menyamakan tokoh tersebut dengan Alexander the Great (Alexander Agung). Namun, jika ditelaah secara hati-hati dengan merujuk pada sumber sejarah klasik dan tafsir ulama, terdapat perbedaan mendasar yang sulit untuk dipertemukan. Tulisan ini mengulas kembali persoalan tersebut dengan bertumpu sepenuhnya pada naskah sumber yang ada.

Alexander dan Latar Keagamaannya

Salah satu penolakan paling mendasar terhadap penyamaan Alexander dengan Dzulqarnain terletak pada aspek akidah. Catatan sejarah secara konsisten menggambarkan Alexander sebagai penganut politeisme Yunani. Ia dibesarkan dalam tradisi keagamaan Macedonia yang memuja dewa-dewa Olympus.

Plutarch dalam Lives: Alexander mencatat bahwa sejak kecil Alexander dididik untuk menghormati Zeus dan Heracles, bahkan mengklaim keduanya sebagai leluhur. Aristotle, guru filsafatnya, tetap mengajarkan pemikiran dalam kerangka budaya dan kepercayaan Yunani. Arrian dalam Anabasis Alexandri menyebutkan bahwa Alexander secara rutin mempersembahkan korban kepada para dewa sebelum peperangan. Menjelang Pertempuran Gaugamela (331 SM), ia melakukan ritual pengorbanan kepada Phobos dan memohon pertolongan Zeus.

Puncak dari praktik keagamaan ini tampak dalam kunjungannya ke Oracle Zeus-Ammon di Siwa, Mesir. Menurut Plutarch dan Arrian, Alexander menerima gelar “anak Zeus-Ammon” dari pendeta setempat dan memanfaatkannya untuk mengukuhkan legitimasinya sebagai penguasa Mesir. Curtius Rufus mencatat bahwa setelah peristiwa ini, Alexander mulai mendorong konsep ketuhanannya sendiri, termasuk penerapan ritual proskynesis yang lazim ditujukan kepada dewa atau raja ilahiah.

Gambaran ini berlawanan dengan Dzulqarnain dalam Surah al-Kahf ayat 83–98 yang digambarkan sebagai seorang mukmin yang jelas ketauhidannya. Ibn Kathir dan al-Qurtubi sama-sama menegaskan bahwa Dzulqarnain adalah hamba Allah yang beriman dan menggunakan kekuasaan untuk menegakkan keadilan. Perbedaan akidah ini saja sudah cukup untuk menafikan penyamaan keduanya.

Akhlak dan Kepribadian Alexander

Selain aspek keimanan, sumber sejarah juga mencatat sisi kepribadian Alexander yang sulit diselaraskan dengan karakter pemimpin saleh. Plutarch menggambarkan kebiasaan Alexander dalam pesta minum arak yang berlarut-larut. Peristiwa terbunuhnya Cleitus the Black pada tahun 328 SM—yang terjadi dalam keadaan mabuk—menjadi contoh paling tragis dari lemahnya pengendalian diri Alexander.

Hubungan pribadi Alexander dengan Hephaestion juga dicatat oleh Curtius Rufus dan Aelian sebagai hubungan yang menyerupai ikatan Achilles dan Patroclus dalam mitologi Yunani. Dalam konteks budaya Yunani klasik, hubungan semacam ini tidak dianggap luar biasa, namun jelas bertentangan dengan nilai moral yang dilekatkan pada figur Dzulqarnain dalam al-Qur’an.

Dari sisi militer, Diodorus Siculus mencatat kehancuran total kota Thebes pada 335 SM, sementara Plutarch meriwayatkan pembakaran istana Persepolis pada 330 SM yang terjadi dalam suasana pesta dan mabuk. Dalam kampanye Asia Tengah, Curtius Rufus mencatat penggunaan taktik bumi hangus dan pembantaian penduduk sipil. Semua ini memperlihatkan pola kekerasan yang tidak sejalan dengan gambaran kepemimpinan adil dan bijaksana.

Ekspedisi dan Perjalanan Terakhir Alexander

Al-Qur’an menyebut tiga ekspedisi utama Dzulqarnain: ke arah matahari terbenam, ke arah matahari terbit, dan ke wilayah antara dua gunung tempat dibangunnya tembok penghalang Yakjuj dan Makjuj. Alexander memang melakukan ekspedisi ke timur hingga India, namun perjalanan pulangnya justru menampilkan kontras tajam.

Setelah tentaranya menolak melanjutkan ekspedisi di Sungai Beas, Alexander memutuskan kembali ke Babylon melalui Gurun Gedrosia. Strabo dan Arrian mencatat bahwa keputusan ini didorong oleh ambisi pribadi untuk menandingi pencapaian Cyrus dan Semiramis. Penyeberangan Gedrosia (325 SM) berubah menjadi bencana besar.

Plutarch mencatat bahwa dari sekitar 85.000 orang, hanya sekitar 25.000 yang selamat. Arrian dan Strabo memberikan angka berbeda, tetapi sepakat bahwa kerugian tersebut melampaui semua kerugian pertempuran sebelumnya. Kekurangan air, panas ekstrem, badai pasir, dan kesalahan logistik menjadi penyebab utama. Diodorus Siculus bahkan mencatat kematian akibat memakan tumbuhan beracun karena kelaparan.

Kegagalan ini bertentangan dengan gambaran Dzulqarnain yang “diberi jalan untuk mencapai segala sesuatu” (QS. al-Kahf: 84). Para mufassir seperti Ibn Kathir, al-Qurtubi, dan al-Zamakhshari menafsirkan ayat ini sebagai pemberian kemampuan, pengetahuan, dan pertolongan ilahi yang mengantarkan pada keberhasilan, bukan bencana.

Pengelolaan Kekuasaan dan Warisan

Kisah Dzulqarnain dalam Surah al-Kahf merupakan pelajaran tentang ujian kekuasaan. Dzulqarnain digambarkan menggunakan kekuasaannya untuk keadilan, menolak eksploitasi, dan mengaitkan keberhasilan dengan rahmat Allah. Ayat 98 menegaskan sikap kerendahan hatinya: “Ini adalah rahmat dari Tuhanku.”

Alexander, sebaliknya, menurut Plutarch dan Badian, terdorong oleh pothos—kerinduan akan kemuliaan pribadi. Ia membangun kultus kepribadian, menuntut pemujaan sebagai dewa, dan mengenakan pajak berat di wilayah taklukan. Pembakaran Persepolis menghasilkan rampasan harta dalam jumlah besar, sebagaimana dicatat oleh Curtius Rufus dan dianalisis oleh Robin Lane Fox.

Lebih jauh, konsep “makkanna fi al-ardh” dalam Surah al-Kahf dipahami para mufassir sebagai kestabilan dan kemampuan membangun pemerintahan yang kokoh. Dzulqarnain meninggalkan warisan perlindungan yang berkelanjutan. Empayar Alexander justru runtuh segera setelah kematiannya pada 323 SM. Perang Diadochi selama puluhan tahun menunjukkan ketiadaan sistem penggantian dan institusi yang stabil.

Sejarawan modern seperti Bosworth dan Ian Worthington menegaskan bahwa Alexander adalah penakluk ulung tetapi administrator yang lemah. Tidak ada sistem hukum atau institusi yang bertahan lama atas namanya. Warisan utamanya hanyalah perpecahan dan konflik berkepanjangan.

Pandangan Ulama

Banyak ulama klasik dan kontemporer menolak penyamaan Alexander dengan Dzulqarnain. Ibn Kathir dan al-Qurtubi menegaskan bahwa Dzulqarnain adalah seorang mukmin. Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar secara tegas menolak gagasan tersebut. Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Abu Shahbah juga menilai bahwa penyamaan ini banyak dipengaruhi oleh israiliyyat yang tidak diverifikasi secara kritis.

Penutup

Berdasarkan naskah sumber yang ditelaah, perbedaan antara Alexander the Great dan Dzulqarnain mencakup aspek akidah, akhlak, ekspedisi, keberhasilan, kepemimpinan, dan warisan. Perbedaan-perbedaan ini terlalu mendasar untuk diabaikan. Dzulqarnain digambarkan sebagai pemimpin beriman yang adil dan rendah hati, sementara Alexander tampil sebagai penakluk pagan yang ambisius dengan warisan yang rapuh.

Pelajaran utama dari kisah Dzulqarnain bukanlah pada identitas historis semata, melainkan pada etika penggunaan kekuasaan: keadilan, tanggung jawab, dan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah.

Referensi

  • Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
  • Al-Qurtubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an
  • Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an
  • Al-Razi, Mafatih al-Ghayb
  • Ibn Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir
  • Arrian, Anabasis Alexandri
  • Plutarch, Life of Alexander
  • Curtius Rufus, Historiae Alexandri Magni
  • Diodorus Siculus, Bibliotheca Historica
  • Strabo, Geography
  • A.B. Bosworth, Conquest and Empire
  • Peter Green, Alexander to Actium
  • Robin Lane Fox, Alexander the Great
  • Ian Worthington, Alexander the Great: Man and God

Disclaimer Akademik

Artikel ini disusun dengan mengembangkan gagasan dan kerangka pembahasan yang bersumber dari literatur akademik serta karya sejarawan dan mufassir sebagaimana tercantum dalam daftar referensi. Untuk pendalaman dan verifikasi ilmiah, pembaca dianjurkan merujuk langsung kepada sumber-sumber rujukan tersebut.

Sebagai catatan transparansi, pembahasan dalam artikel ini terinspirasi dari tulisan Hir ben Ali yang dipublikasikan melalui platform Facebook, yang kemudian dikembangkan dan diperkaya oleh penulis.

Lebih baru Lebih lama