Editor: Tim Pena Sehat
Dalam kisah yang beredar di media sosial dan konten dakwah digital, Madinah digambarkan sebagai masa ketika wahyu masih turun dan setiap keputusan Rasulullah ﷺ berada dalam bimbingan Allah. Di tengah para sahabat, terdapat satu nama yang kerap disebut bukan karena kenabian atau klaim wahyu, melainkan karena kejernihan hati dalam membaca kebenaran.
Nama itu adalah Umar bin Khattab.
Menurut narasi keagamaan populer, Umar bukan seorang nabi dan bukan pula penerima wahyu. Namun dalam beberapa peristiwa, pandangan dan ucapannya disebut sejalan dengan ayat-ayat yang kemudian diturunkan. Hal ini tidak diposisikan sebagai keistimewaan pribadi, melainkan sebagai cerminan ketulusan dan kehati-hatian hati.
Salah satu kisah yang sering disampaikan adalah ketika kaum muslimin berada di sekitar Ka’bah. Di sana terdapat sebuah batu yang dikenal sebagai Maqam Ibrahim, tempat yang secara turun-temurun diyakini memiliki jejak sejarah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Umar, sebagaimana diceritakan, memandangi tempat itu dengan penuh perenungan.
Ia kemudian menyampaikan pandangannya kepada Rasulullah ﷺ dengan adab dan kerendahan hati, bukan sebagai perintah atau desakan. Ia mengusulkan agar Maqam Ibrahim dijadikan sebagai tempat shalat. Rasulullah ﷺ tidak segera memberikan jawaban.
Dalam kisah yang beredar, tidak lama setelah itu turunlah ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar Maqam Ibrahim dijadikan sebagai tempat shalat. Peristiwa ini sering dipahami sebagai momen yang membuat Umar justru merasa takut, bukan bangga. Ia khawatir hatinya kelak mengeras dan mengira dirinya memiliki keistimewaan, padahal ia meyakini bahwa segala kebenaran semata-mata berasal dari kehendak Allah.
Narasi lain menceritakan kegelisahan Umar ketika melihat aktivitas istri-istri Rasulullah ﷺ. Dalam pandangan keagamaannya, mereka adalah ibu-ibu kaum mukminin yang kehormatannya harus dijaga. Dengan penuh kehati-hatian, Umar menyampaikan saran agar mereka diperintahkan untuk berhijab, mengingat tidak semua orang yang datang memiliki niat yang sama.
Sebagaimana disampaikan dalam konten dakwah digital, setelah itu turunlah ayat mengenai hijab. Sekali lagi, Umar disebut tidak menampakkan rasa bangga. Sebaliknya, ia semakin merasa kecil di hadapan kebesaran Allah, menyadari bahwa kesesuaian antara ucapannya dan wahyu bukanlah karena dirinya, melainkan semata-mata karena kehendak Ilahi.
Ujian yang lebih berat diceritakan terjadi setelah Perang Badar. Kaum muslimin meraih kemenangan dan sejumlah tawanan ditahan. Rasulullah ﷺ bermusyawarah dengan para sahabat. Sebagian mengusulkan agar para tawanan ditebus.
Dalam kisah yang beredar, Umar menyampaikan pendapat yang sangat tegas. Ia memandang para tawanan sebagai tokoh-tokoh utama kekufuran dan mengusulkan hukuman yang keras. Usulan itu terasa berat dan Rasulullah ﷺ memilih pendapat yang lebih lembut dengan menerima tebusan.
Namun kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menegur keputusan tersebut. Peristiwa ini digambarkan sebagai momen yang mengguncang hati Umar. Ia menangis bersama Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar, diliputi rasa takut akan teguran Allah. Dari peristiwa itu, Umar disebut belajar bahwa kebenaran kadang terasa pahit, dan kasih sayang pun memiliki batas.
Dalam narasi keagamaan populer, Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda bahwa di antara umat-umat terdahulu terdapat orang-orang yang diberi ilham, dan jika di antara umatnya ada yang demikian, maka Umar bin Khattab termasuk di dalamnya. Sabda ini diriwayatkan dalam hadis-hadis shahih.
Namun diceritakan bahwa setiap kali mendengar pujian tersebut, Umar justru diliputi rasa takut. Ia khawatir pujian itu menjadi ujian yang menjerumuskannya. Dalam doanya, ia memohon agar tidak termasuk orang yang tertipu oleh sanjungan.
Kisah-kisah ini sering ditutup dengan penekanan bahwa Umar bin Khattab bukanlah seorang nabi. Akan tetapi, dalam berbagai narasi keagamaan, ia dikenang sebagai sosok yang lisannya kerap selaras dengan wahyu karena kejujuran hati, kebersihan niat, dan ketundukan penuh kepada kebenaran.
Bukan kecerdasan semata yang diangkat, melainkan kerendahan hati—bahwa ketika Allah mengangkat derajatnya, Umar tidak pernah merasa dirinya besar.
Sumber Referensi:
- Konten dakwah digital TikTok: https://vt.tiktok.com/ZSPWLgUyA/
- Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah ayat 125
- Al-Qur’an: QS. Al-Anfal ayat 67
- Hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim (dalam narasi populer)
Disclaimer Akademik & Media Siber:
Artikel ini disusun berdasarkan kisah yang beredar di media sosial dan narasi keagamaan populer. Penyajian dilakukan secara reflektif untuk menggambarkan hikmah dan nilai akhlak, tanpa dimaksudkan sebagai penetapan fakta sejarah, dalil hukum, atau fatwa keagamaan. Beberapa bagian disajikan dalam bentuk narasi untuk membantu pemahaman makna, bukan sebagai kutipan literal sumber primer.
