Oleh: Arun Algaus
Editor: Tim Pena Sehat
Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Imam Al-Ghazali: Telaah Kurikulum dalam Kitab Ihya Ulumuddin
Kemerosotan kualitas pendidikan pascapandemi menjadi perhatian serius dalam berbagai kajian akademik, khususnya ketika fenomena tersebut beriringan dengan melemahnya pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan tidak lagi hanya dihadapkan pada persoalan akademik dan kognitif, tetapi juga pada tantangan degradasi moral dan akhlak. Dalam konteks inilah, pemikiran pendidikan Islam klasik kembali relevan untuk dikaji, salah satunya gagasan Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin.
Artikel ini disusun berdasarkan kajian jurnal ilmiah yang membahas konsep kurikulum pendidikan akhlak menurut perspektif Imam Al-Ghazali. Penulisan diarahkan untuk menghadirkan pemahaman yang lebih komunikatif bagi pembaca umum, tanpa mengurangi ketepatan makna dan substansi ilmiah sebagaimana tertuang dalam jurnal sumber.
Akhlak sebagai Fondasi Pendidikan
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, akhlak tidak sekadar dipahami sebagai perilaku lahiriah, melainkan sebagai kondisi batin yang menetap dalam jiwa. Akhlak dimaknai sebagai khuluq, yakni perangai atau tabiat yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan manusia secara spontan, tanpa perlu perencanaan atau pertimbangan panjang. Pemaknaan ini berangkat dari pandangan bahwa manusia terdiri atas unsur jasmani dan ruhani, di mana akhlak berakar pada dimensi batiniah.
Al-Ghazali membedakan antara bentuk lahir (khalq) dan bentuk batin (khuluq). Akhlak sebagai khuluq bukanlah perbuatan itu sendiri, bukan pula sekadar kemampuan atau pengetahuan tentang baik dan buruk. Akhlak adalah kesiapan jiwa yang membuat seseorang cenderung pada tindakan tertentu. Dari sinilah lahir pembagian akhlak menjadi akhlak terpuji (mahmudah atau munjiyat) dan akhlak tercela (madzmumah atau muhlikat).
Pendidikan Akhlak sebagai Proses Pembentukan Jiwa
Pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dipahami sebagai usaha sadar dan berkelanjutan untuk mendorong serta membentuk jiwa manusia agar mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tujuan utama pendidikan bukan hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membersihkan dan mengarahkan hati. Pendidikan akhlak dengan demikian bersifat integral, menyentuh aspek kognitif, afektif, dan spiritual.
Dalam diri manusia, Al-Ghazali menjelaskan adanya berbagai kecenderungan sifat, mulai dari sifat ketuhanan, syaithaniyyah, kebinatangan, hingga kebuasan. Pendidikan berperan mengelola dan mengarahkan kecenderungan tersebut agar tidak mendominasi secara negatif. Perubahan akhlak dimungkinkan melalui pembiasaan dan latihan yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Al-Ghazali menegaskan bahwa watak manusia dapat dibentuk melalui pendidikan, meskipun tingkat penerimaan perubahan berbeda-beda pada setiap individu.
Kurikulum Pendidikan Akhlak dalam Ihya Ulumuddin
Dalam kajian jurnal yang menjadi rujukan artikel ini, kurikulum pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali dipahami sebagai pedoman pendidikan yang tersusun atas empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, metode, dan penilaian pendidikan akhlak. Keempat komponen ini membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali sejalan dengan tujuan penciptaan manusia. Pendidikan diarahkan agar manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt., serta beramal saleh. Pencapaian tujuan ini tercermin dalam kualitas hubungan manusia dengan Allah, lingkungan, dan sesama manusia.
Materi Pendidikan Akhlak
Materi pendidikan akhlak berisi nilai-nilai inti yang bertujuan membentuk akhlakul karimah. Dalam Ihya Ulumuddin, materi tersebut mencakup sikap-sikap penyelamat (munjiyat) seperti sabar, syukur, takut dan harap kepada Allah, zuhud, tawakkal, cinta, rindu, dan ridha. Materi ini dipandang sebagai inti ajaran agama yang harus ditanamkan secara mendalam.
Metode Pendidikan Akhlak
Pembentukan akhlak tidak dilakukan secara instan. Al-Ghazali menekankan tahapan pembinaan akhlak yang meliputi takhalli (mengosongkan diri dari sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji), dan tajalli (penghayatan kedekatan kepada Allah). Tahapan ini dilaksanakan melalui berbagai metode, antara lain ceramah, diskusi dan tanya jawab, bercerita, keteladanan, mujahadah dan riyadhah, serta pemberian hadiah dan hukuman.
Penilaian Pendidikan Akhlak
Penilaian pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali tidak diukur melalui angka atau indikator formal semata, melainkan melalui perubahan sikap dan perilaku. Hasil pendidikan akhlak tampak pada terbentuknya sifat-sifat seperti malu, toleransi, introspeksi diri, kejujuran, kesabaran, kelembutan, rasa syukur, qana’ah, serta kecenderungan mencintai dan membenci karena Allah.
Penutup
Konsep kurikulum pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menempatkan akhlak sebagai inti dari seluruh proses pendidikan. Pendidikan tidak berhenti pada transfer ilmu, tetapi berlanjut pada pembentukan jiwa dan karakter manusia. Dalam konteks pendidikan modern yang menghadapi tantangan moral, gagasan Al-Ghazali tetap relevan untuk dijadikan rujukan konseptual, khususnya dalam upaya menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan kedalaman akhlak.
Referensi
- Rahmad Syah Dewa, Zahra Khusnul Latifah, & Syukri Indra. (2023). Konsep Kurikulum Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin. AL-KAFF: Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 5 No. 1.
- Referensi pendukung sebagaimana tercantum dalam jurnal sumber.
Disclaimer Akademik
Artikel ini disusun berdasarkan jurnal ilmiah sebagai sumber utama. Untuk pemahaman yang lebih mendalam dan keperluan akademik, pembaca disarankan mengakses dan membaca jurnal asli yang menjadi rujukan artikel ini.
