Kisah Menyentuh Ulbah bin Zaid: Doa Seorang Fakir yang Menggetarkan Arsy
Dalam sejarah Islam dan literatur hikmah, nama Ulbah bin Zaid dikenal sebagai simbol ketulusan hati. Ia bukan tokoh kaya, bukan pula pejuang gagah di medan perang, melainkan sosok yang menundukkan langit dengan doa dan keikhlasan. Kisahnya menembus waktu, dikisahkan dalam dua versi besar: riwayat klasik di masa Rasulullah ﷺ, dan versi populer yang menyentuh ranah spiritual manusia modern.
Ulbah bin Zaid dalam Riwayat Klasik
Dalam sejumlah tafsir klasik seperti Ibnu Katsir dan riwayat yang diulas oleh situs-situs Islam kredibel, Ulbah bin Zaid adalah seorang sahabat Nabi ﷺ yang sangat miskin. Ketika Rasulullah menyeru kaum muslimin untuk berinfak dalam persiapan perang Tabuk, sebagian sahabat bersegera membawa harta, unta, dan bekal. Ulbah hanya bisa menunduk sedih, sebab ia tak memiliki apa-apa.
Malam itu, di tengah keheningan, Ulbah berwudhu lalu menunaikan salat panjang. Ia meneteskan air mata, lalu berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu aku tidak memiliki harta untuk kuinfakkan. Maka aku bersedekah kepada-Mu dengan kehormatanku. Siapa pun yang pernah menzalimiku, aku maafkan karena-Mu.” Doa itu ia lantunkan penuh pasrah, tanpa keluh, tanpa harapan balasan selain ridha Allah semata.
Keesokan paginya Rasulullah ﷺ bersabda di hadapan para sahabat, “Siapa yang bersedekah tadi malam, semoga Allah menerima sedekahnya.” Ulbah berdiri dan mengisahkan doanya. Rasulullah tersenyum lalu berkata, “Demi Allah, sedekahmu telah diterima.” Riwayat ini kemudian dikenal sebagai kisah sedekah doa — pelajaran bahwa amal tak selalu berbentuk materi.
Kisah Populer: Ketika Doa Mengguncang Arsy
Berabad-abad kemudian, muncul versi populer dari kisah Ulbah yang banyak beredar di kalangan pendakwah. Dalam versi ini, Ulbah bukan lagi sosok sahabat, melainkan seorang lelaki miskin dari Bani Israil yang terbaring sakit keras. Tak ada keluarga, tak ada tetangga yang peduli, bahkan untuk makan dan minum pun ia bergantung sepenuhnya pada takdir Allah.
Di tengah kesakitan dan sepi, Ulbah berdoa dengan penuh haru, “Ya Allah, Engkau tahu betapa besar keinginanku untuk beribadah dan berjihad di jalan-Mu, tapi Engkau menakdirkanku dalam keadaan seperti ini. Tidak ada yang mengunjungiku, tidak ada yang mengasihiku, hanya Engkau yang menjadi tempat aku bergantung.”
Doa itu menembus langit. Dalam versi populer ini, dikisahkan para malaikat mendengar rintihan tulus itu dan menyampaikannya kepada Allah. Lalu turunlah seorang malaikat ke bumi untuk memberi kabar kepada Ulbah bahwa Allah mendengar dan mencintainya. Mendengar kabar itu, Ulbah menangis dan bersujud, dan di dalam sujud itulah ia menghembuskan napas terakhir.
Allah kemudian berfirman kepada malaikat-Nya, “Saksikanlah bahwa hari ini Aku telah mengampuni Ulbah bin Zaid dan meridhainya. Ia mengguncang Arsy-Ku dengan doa dan kepasrahannya.” Malaikat pun memandikan dan menguburkan jasadnya dengan penuh kehormatan.
Pesan Abadi dari Dua Versi
Kedua versi kisah Ulbah, baik sebagai sahabat Nabi maupun sebagai sosok miskin dalam hikmah Bani Israil, bertemu dalam satu titik yang sama: ketulusan hati dan kekuatan doa. Keduanya mengajarkan bahwa Allah tidak pernah menilai manusia dari banyaknya amal lahiriah, tetapi dari kemurnian niat dan pasrah total kepada-Nya.
Ketika manusia memandang rendah seseorang karena kefakirannya, Allah justru melihat kedalaman hati yang tersembunyi. Doa Ulbah menjadi saksi bahwa cinta kepada Allah tak butuh status, tak butuh kemewahan, dan tak butuh pengakuan. Yang dibutuhkan hanyalah hati yang jujur dan tunduk sepenuhnya.
“Tidak ada doa yang sia-sia di sisi Allah, terutama doa yang keluar dari hati yang hancur namun tetap yakin bahwa Allah mendengar.”
Pelajaran yang Menghidupkan Jiwa
- Doa orang lemah tidak pernah tertolak. Dalam sunyi dan kesendirian, ada kekuatan spiritual yang melampaui logika manusia.
 - Ikhlas adalah sedekah terbesar. Maaf yang tulus dan doa yang lahir dari hati bersih dapat bernilai lebih dari harta yang berlimpah.
 - Allah Maha Melihat. Tak ada air mata yang jatuh tanpa diketahui oleh-Nya, tak ada kesakitan yang tak diperhitungkan oleh kasih sayang-Nya.
 - Ketulusan adalah puncak ibadah. Ulbah mengajarkan bahwa makna tertinggi ibadah bukan pada bentuk, tapi pada keikhlasan jiwa.
 
Kisah Ulbah bin Zaid menjadi cermin bagi manusia modern yang sering merasa kehilangan arah dan makna. Di tengah dunia yang sibuk mengejar gemerlap duniawi, kisah ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan sejati lahir dari hati yang bersih dan pasrah kepada Tuhannya.
Penutup
Kisah ini, baik dalam bentuk riwayat klasik maupun versi populer, membawa pesan universal: tak ada manusia yang terlupakan oleh Allah. Dalam diam dan sakit, dalam doa yang tak terdengar oleh siapa pun, ada getaran langit yang menjawab. Sebab doa, ketika lahir dari hati yang remuk dan penuh cinta kepada Sang Pencipta, bisa jadi lebih dahsyat daripada suara perang sekalipun.
