Kisah Abu Hazim dan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik – Eps. 2
"Tawaran, Ancaman, dan Kemuliaan Hati"
Malam itu, Abu Hazim duduk di teras rumahnya yang sederhana. Tak ada pelita yang mewah, hanya lentera kecil dari tanah liat. Ia sedang membaca Al-Qur’an ketika suara ketukan pelan mengusik keheningan.
Seorang utusan istana berdiri di ambang pintu. “Wahai Abu Hazim, Amirul Mukminin mengirimkan hadiah emas, pakaian, dan dua rumah di pusat kota untukmu. Ia ingin engkau tinggal dekat istana sebagai penasihat tetap.”
Abu Hazim tidak langsung menjawab. Ia menutup mushaf, menatap tamu itu, lalu berkata tenang:
“Sampaikan pada Amirul Mukminin, orang yang menerima dunia karena Allah, maka itu rezeki. Tapi bila ia mengambilnya karena dunia, maka itu musibah.”
Utusan itu menunduk. “Lalu... engkau menolak semuanya?”
“Aku tak menolak apa yang datang dari Allah. Tapi aku juga tidak menjual agamaku demi mendekat pada dunia.”
Ujian dan Fitnah dari Orang Dalam
Keesokan harinya, suara desas-desus menyebar. Beberapa pejabat istana tidak senang dengan sikap Abu Hazim. Mereka menyebarkan fitnah: bahwa ia sombong, bahwa ia menghina khalifah secara tidak langsung.
Seorang panglima yang fanatik berkata, “Jika ia bukan ulama, pasti sudah dihukum.”
Kabar ini sampai ke telinga Abu Hazim. Tapi ia hanya tersenyum, lalu berkata kepada murid-muridnya:
“Jika aku berkata benar dan mereka marah, itu bukan salahku. Tapi jika aku berkata salah dan mereka senang, aku takut pada Allah.”
Salah satu muridnya bertanya, “Wahai guru, tidakkah engkau takut pada ancaman para penguasa?”
Ia menjawab:
“Aku lebih takut kepada Dia yang menguasai hidup dan matiku, daripada kepada mereka yang hanya diberi kekuasaan sementara.”
Dialog Kedua: Ketegangan Meningkat
Beberapa hari kemudian, Khalifah kembali memanggil Abu Hazim ke istana. Kali ini, ruangan pertemuan lebih tertutup. Hanya ada beberapa orang penting yang ikut hadir. Wajah Khalifah tampak murung, namun juga tegang.
“Apakah engkau tidak takut kehilangan segalanya jika menolak aku?”
Abu Hazim menjawab tenang:
“Engkau bukan pemberi rezeki, bukan pengatur umur, dan bukan penjamin akhiratku. Mengapa aku harus takut padamu?”
Para pejabat terdiam. Sebagian merasa Abu Hazim telah keterlaluan. Tapi yang lain justru menangis mendengar kejujurannya.
Sang Khalifah pun tertunduk. Air matanya jatuh. “Engkau lebih mulia dari mereka semua, wahai Abu Hazim.”
Abu Hazim berdiri. Ia meninggalkan istana tanpa membawa emas, tanpa membawa kedudukan. Tapi ia membawa sesuatu yang tidak bisa dibeli dunia: kehormatan di hadapan Allah dan manusia.
Kehidupan Setelah Istana
Setelah kejadian itu, Abu Hazim hidup lebih sederhana dari sebelumnya. Ia menolak semua pemberian dari istana. Banyak orang datang ingin menjadi muridnya, tapi ia hanya menerima mereka yang ikhlas mencari ilmu, bukan mencari nama.
Ia pernah berkata kepada seorang pemuda kaya yang ingin belajar padanya:
“Ilmu ini bukan untuk menghiasi lidahmu di depan manusia. Tapi untuk memperbaiki dirimu di hadapan Allah.”
Setiap malam, rumahnya menjadi tempat orang miskin datang meminta nasihat. Ia membagikan gandum, kurma, dan hikmah. Meski tak banyak harta, ia kaya dalam memberi.
Ujian Terakhir dan Wafat
Beberapa tahun kemudian, di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Abu Hazim masih hidup. Khalifah yang dikenal adil itu menghormatinya dan sering berkirim surat meminta nasihat.
Saat Abu Hazim sakit, para murid dan warga sekitar menjenguknya. Ia berkata lemah namun penuh semangat:
“Jangan tangisi aku. Aku akan pergi menemui yang Maha Penyayang. Apa yang kutakutkan bukanlah kematian, tapi apakah amalanku diterima.”
Ia wafat dalam keadaan sujud, menurut beberapa riwayat. Di hari itu, seluruh kota menangis. Tapi mereka tahu, yang wafat adalah orang yang selama hidupnya telah mempersiapkan kematiannya.
Penutup
Kisah Abu Hazim bukan hanya tentang seorang ulama, tapi tentang keberanian untuk hidup jujur dalam dunia yang sarat kemewahan dan tipu daya. Ia adalah simbol dari zuhud, keberanian moral, dan ketulusan dakwah.
Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk lebih jujur, lebih sederhana, dan lebih dekat kepada Allah, bukan dunia.
“Jangan kau bangga dengan dekatnya dirimu pada penguasa, tapi banggalah jika engkau tetap jujur meski di depan mereka.” – Abu Hazim
Jangan Lewatkan: Mengenal Abu Hazim dan Petuahnya kepada Khalifah