Perjalanan Hati Abu Hafsh an-Naisaburi: Menguatkan Niat Part 2

Kisah Tobat Abu Hafsh an-Naisaburi - Episode 2 | Saat Dunia Reruntuh dan Hati Tersentuh

Kisah Tobat Abu Hafsh an-Naisaburi — Episode 2

Rujukan kitab (sebagai catatan awal): Hilyat al-Awliya’, Tabaqat al-Sufiyyah, Shifat al-Shafwah, Risalah al-Qushayriyyah.

Ketika pagi itu tiba, angin dingin menelusup di antara reruntuhan bangunan dekat pasar. Suasana Naisabur tidak sama seperti hari-hari biasa; kabar kebakaran kecil yang menimpa sebuah lorong sempit tadi malam masih menjadi perbincangan. Abu Hafsh baru saja menyelesaikan pesanan berukuran besar dan menaruh gergajinya ketika seseorang mengetuk pintu pergiannya dengan napas terengah.

Ia membuka pintu. Di ambang, berdiri seorang ibu, rambutnya kusut, pakaian compang-camping, dan matanya merah oleh tangis. Di pangkuannya ada kain yang bergerak—seperti ada sesuatu yang rapuh di dalamnya. Ibu itu memandangnya, dan suaranya pecah ketika ia menyampaikan permintaan yang sederhana:

"Tolong... apakah engkau punya potongan kayu cukup untuk membuat peti kecil? Untuk... untuk mayat anakku."

Dunia Abu Hafsh seperti berhenti. Tangan yang tadi penuh kapur kayu menjadi dingin. Dia ingat, beberapa jam sebelumnya ia menolak rombongan fakir yang meminta potongan kayu; ia sibuk, katanya, ada pesanan besar—kehidupan harus terus dijalankan. Sekarang, ibu ini datang memohon potongan kayu untuk menutup tubuh mungil yang telah merenggang nyawa.

Di dalam rumah kecilnya, bau serbuk kayu bercampur dengan aroma rempah dari dapur tetangga. Abu Hafsh melihat kain yang rapuh itu dan merasa sesuatu retak di dalam dadanya. Ia menggerakkan tubuh, mengambil papan paling tipis yang ia miliki—tetapi pikirannya tidak tenang. Ia melihat kembali wajah sang ibu—wajah yang tampak hilang, bukan hanya kehilangan materi tetapi tergerus oleh duka yang dalam.

Malam yang Tidak Akan Terlupa

Ia bekerja sepanjang siang. Palu dan paku menghasilkan bunyi yang selama ini ia kenal baik—bunyi upah, bunyi keamanan hidup. Namun hari itu palu terasa berat, setiap detik memukul hati yang lambat berdenyut. Ketika peti kecil itu selesai, ibu itu memeluknya, menggenggam tangan sang tukang kayu, dan berkata sesuatu yang membuat Abu Hafsh terdiam:

"Dia tidak sempat mendapatkan apa-apa dari dunia ini. Hanya doa kami... dan semoga Allah menerima sedikit ini."

Kata-kata itu seperti cermin yang memantulkan ulang semua sikapnya belakangan: menolak permintaan, menunda sedekah karena sibuk, menghitung keuntungan, menempatkan dunia di atas kehendak hati. Abu Hafsh terpaku. Dalam malam yang sunyi, ketika lampu minyak di bengkel mulai meredup, ia duduk sendiri. Di luar, suara kota tetap mengalir—pedagang, penjual, suara anak-anak. Namun di dadanya, ada kehampaan yang tak mudah diungkapkan.

Ia teringat akan ayat-ayat yang sering diperdengarkan di madrasah dekat pasar—pasal tentang kefanaan dunia, tentang pertanggungjawaban. Bukan karena ia pintar mengutip, tetapi karena hatinya kini merasakan goresan yang mendalam. Ia teringat puluhan kali saat ia menunda memberi kepada yang membutuhkan, berkata dalam hati akan memberi nanti, besok, bila orderan selesai—sesuatu yang tampak logis bagi tukang kayu, tetapi kini tampak sebagai penundaan yang mematikan.

Pertemuan dengan Seorang Tua yang Bijak

Esoknya, ketika Abu Hafsh berjalan ke pasar untuk membeli paku, ia bertemu seorang laki-laki tua duduk di bawah pohon kurma. Wajahnya dipenuhi celah-celah kenangan; matanya tidak kosong tetapi seolah menaruh perintah lembut pada orang yang menatapnya. Orang tua itu berkata tanpa basa-basi:

"Apa yang kau kumpulkan, wahai anakku? Untuk dunia atau untuk bekal yang abadi?"

Abu Hafsh terkejut. Ia bukan orang yang gemar bercakap-cakap panjang; biasanya ia membalas singkat. Namun kali ini sesuatu membuat suaranya patah ketika ia menjawab, "Untuk keluargaku... agar kami tidak lapar, agar istri dan anak tidak menderita."

Si tua mengangguk, tetapi matanya menyala seperti ada yang ingin dikeluarkan dari lubuk hati. "Mencukupi keluarga adalah kewajiban," katanya. "Tetapi janganlah engkau jadikan itu sebagai alasan menutup mata dari yang membutuhkan. Hati yang melekat pada harta seperti rumah yang atapnya bocor—suatu saat air akan masuk."

Ia berbicara seperti orang yang pernah melihat banyak hidup. Kata-katanya bukan hujatan tetapi cerminan pengalaman. Abu Hafsh mendengarkan, dan saat si tua berlalu, ia membayangkan atap rumahnya sendiri—apakah ia telah menambalnya? Ataukah banyak lubang yang belum ia sadari?

Gelombang Penyesalan dan Doa yang Tulus

Penyesalan mulai tumbuh, bukan sekadar rasa bersalah yang singgah lalu pergi, tetapi penyesalan yang merubah pandangan. Abu Hafsh mulai membuka lembaran-lembaran kecil dalam hidupnya: kenangan-kenangan dimana ia memilih menutup pintu pada yang meminta, alasan-alasan yang tadinya terlihat masuk akal, kini tampak rapuh di tangan kalbu.

Pada malam berikutnya, ia duduk di atas tikar yang tipis. Tangannya terlipat, matanya menatap kosong ke sebuah kaligrafi yang tergantung—lucu, kaligrafi itu ia beli untuk sebuah pesta tahun lalu. Seketika, ia merasakan dorongan untuk berbisik kepada Yang Maha Kuasa dengan cara yang sederhana, bukan retorika panjang atau kata-kata yang dipoles. Ia berdoa:

"Ya Allah, ampunilah kekhilafanku. Bimbinglah aku agar tanganku memberi, bukan menolak. Jadikan aku alat-Mu untuk menolong yang lemah."

Doa itu keluar dari mulut yang sederhana. Tidak ada sorotan, tidak ada publikasi; hanya suara yang mengguncang ruangan kecil. Setelah itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ada ketenangan yang halus menempel pada dada—sebuah ketenangan yang bukan karena selesai pekerjaan, melainkan karena langkah pertama yang nyata menuju perubahan.

Tindakan Kecil yang Menjadi Titik Balik

Perubahan Abu Hafsh tidak meledak; ia bermula dari tindakan-tindakan kecil. Esoknya, ketika seorang anak pengembala kecil datang meminta potongan kayu untuk membuat mainan, Abu Hafsh memberinya satu papan yang cukup. Ia tidak mengumumkan kebaikannya, dan anak itu tersenyum polos—senyum yang lebih berharga daripada hadiah terindah di pasar.

Ia mulai memberi lebih sering, bukan karena ingin dipuji tetapi karena hati terasa nyaman saat memberi. Ia memperbaiki satu pintu rumah tetangga yang retak, menambah sendok makan untuk sebuah keluarga miskin, menyumbangkan beberapa papan untuk menutup atap bocor di sebuah gubuk. Begitu banyak hal kecil yang dulu ia anggap remeh, kini terasa seperti menambal jalinan kehidupan yang sobek.

Dalam praktiknya, tidak semua orang langsung menerima perubahan itu dengan terang-terangan—beberapa mengira ini hanya sifat baik sesaat—tetapi ada satu hal yang jelas: Abu Hafsh sendiri berubah. Di setiap malam, ketika ia menutup bengkel, ada rasa syukur yang baru. Ia masih bekerja keras, tetapi ada tujuan baru yang menyertai setiap pukulan palu.

Sesi Refleksi di Tepian Sungai

Suatu sore, ia berjalan ke tepian sungai yang melintas di pinggiran kota. Di sana, air mengalir tanpa tergesa. Abu Hafsh duduk, menatap riak kecil yang membentuk lingkar demi lingkar, dan bertanya pada dirinya sendiri: "Bagaimana aku ingin dikenang? Sebagai tukang kayu yang pandai mengukur, atau sebagai orang yang menolong ketika orang lain tidak punya siapa-siapa?"

Jawabannya tidak datang sekaligus. Namun seiring waktu, ia mulai merangkai suatu cara hidup yang berbeda: bekerja untuk mencukupi kebutuhan, namun menyisihkan sebagian rezeki untuk amanah-amanah kecil—anak yatim di lorong, pembelian kayu untuk peti orang miskin, atau sekadar memberi untuk makanan harian mereka yang tak sanggup.

Orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan. Bukan karena ia menuntut pengakuan, tetapi karena perubahan itu nyata. Mereka melihat tangan yang dulu menutup kini terbuka. Mereka melihat keringat yang sama, tetapi kini ada senyum yang lebih mudah keluar dari bibir Abu Hafsh.

Ketika Hati Mulai Bergeser

Perubahan batin tidak hanya membuatnya lebih murah hati; ia juga mulai merawat hatinya. Ia rajin mendengar bacaan Qur’an di madrasah, bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menyejukkan jiwa. Ia belajar menahan amarah ketika ada pesanan yang tak beres, ia belajar memaafkan ketika seseorang menuduhnya tak adil.

Ada momen-momen ketika keraguan kembali menyelinap—seperti manusia biasa, ia juga takut masa depan. Namun sekarang ia menghadapi ketakutan itu dengan bekal baru: keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah dan bahwa tangan yang memberi tidak akan pernah menjadi miskin secara hakiki.

Berbagi Cerita, Menyambung Hati

Beberapa tetangga mulai meminta nasihat darinya tentang kehidupan sehari-hari; lebih dari itu, banyak yang datang untuk sekadar bercerita. Di hadapan mereka, Abu Hafsh tidak menaruh klaim kesalehan—ia hanya menceritakan pergulatan hatinya, bagaimana sebuah peti kecil untuk mayat anak mengubah malamnya, bagaimana seorang pria tua dan seorang ibu telah menjadi cermin bagi dirinya.

Cerita-cerita kecil itu menyebar. Bukan untuk membuatnya terkenal, melainkan untuk mengingatkan: betapa tindakan kecil yang tampak remeh dapat menumbuhkan kebaikan berantai. Di pasar, orang mulai memberi contoh; beberapa tukang lain menambah sebagian hasil dagang untuk sedekah kecil. Bukan karena aturan, tetapi karena hati yang tergerak meniru.

Penutup Episode 2: Titik Pergantian yang Lembut

Episode 2 ini bukanlah bab yang menutup semua dosa masa lalu. Perubahan Abu Hafsh baru saja dimulai. Tapi di hari-hari sederhana itulah, sebuah koridor baru terbuka—bukan koridor yang dipenuhi tepuk tangan, melainkan koridor yang sunyi, dihuni oleh doa-doa yang murni dan perbuatan yang ikhlas.

Jika kisah ini menyentuh hatimu, izinkan kami menemanimu menelusuri kelanjutan perjalanan ruhani ini.

Langganan gratis akan memberimu notifikasi saat Episode 3 dipublikasikan — sebuah episode yang akan mengupas titik puncak tobat, perjalanan spiritual, dan biografi Abu Hafsh secara lebih terperinci. Jika kamu merasa kisah ini berguna, bagikan pula kepada sahabat yang mungkin membutuhkannya; berbagi adalah bagian dari perbuatan kecil yang mengubah dunia satu hati pada satu waktu.

Di Episode 3 nanti, kita akan menyusuri langkah-langkah selanjutnya: bagaimana ia menyusun disiplin ibadah, siapa saja yang turut membimbingnya, dan bagaimana jejaknya terekam dalam catatan para perawi. Akan ada bab tentang biografi yang lebih terstruktur—sumber-sumber klasik yang mencatatnya, fragmen-fragmen hadis yang terkait, serta hikmah-hikmah konkret yang bisa kita aplikasikan dalam hidup sehari-hari.

Hingga saat itu, biarkanlah kata-kata sederhana ini menempel di hati: bahwa tobat sering dimulai dari ketulusan menerima kesalahan kecil, dari keberanian berkata "maaf" dan "aku akan memperbaiki", serta dari tindakan nyata—sekecil apa pun—yang dipersembahkan untuk kebaikan orang lain.

Baca Juga: Hikmah & Biografi Lengkap Abu Hafsh An-Naisaburi

Bersambung ke Episode 3...

Lebih baru Lebih lama