Awal Perubahan Abu Hafsh an-Naisaburi: Dari Tukang Kayu Menuju Jalan Tobat Part 1

Kisah Tobat Abu Hafsh an-Naisaburi - Episode 1 | Menemukan Cahaya di Tengah Kehidupan

Kisah Tobat Abu Hafsh an-Naisaburi - Episode 1

Naisabur, kota yang hidup di bawah naungan ilmu dan perdagangan pada abad ke-3 Hijriah, adalah rumah bagi berbagai kalangan: para ulama, saudagar, pengrajin, dan masyarakat sederhana yang sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Di salah satu sudut kota ini, di jalan sempit yang beraroma serbuk kayu, hiduplah seorang lelaki yang kelak dikenal sebagai Abu Hafsh an-Naisaburi.

Pada masa itu, Naisabur adalah simpul peradaban Khurasan. Kafilah dagang datang dan pergi, membawa sutra, rempah, dan cerita-cerita dari negeri jauh. Suara palu dan gergaji bercampur dengan lantunan ayat-ayat Qur’an dari madrasah di dekat pasar. Namun, bagi Abu Hafsh muda, suara yang paling akrab adalah dentang palu kayu di bengkel miliknya.

Abu Hafsh dikenal sebagai tukang kayu yang cekatan. Tangannya terampil membentuk papan menjadi pintu, meja, atau lemari. Namun, ketekunan itu bukan semata karena cinta pada seni, melainkan karena satu hal: penghidupan. Ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan, secara diam-diam, menumpuk sedikit demi sedikit hasil keringatnya untuk sebuah impian—impian yang kelak akan ia tinggalkan sepenuhnya.

Seorang Tukang Kayu yang Dihormati

Meski hidupnya sederhana, Abu Hafsh adalah sosok yang disegani di lingkungannya. Ia dikenal jujur dalam timbangan, tidak mengurangi kualitas kayu, dan menepati janji pesanan. Banyak yang menganggapnya sebagai teladan pengrajin yang baik. Namun, di balik semua itu, hatinya sering kali diselimuti kegelisahan yang tidak ia pahami sepenuhnya.

“Wahai manusia, sesungguhnya rezeki itu telah ditentukan. Maka janganlah engkau mencarinya dengan cara yang akan merusak akhiratmu.”
Nasihat seorang ulama Naisabur yang kelak akan mengubah hidup Abu Hafsh

Setiap malam, setelah bengkel ditutup dan pasar mulai sepi, Abu Hafsh sering duduk di sudut rumahnya. Ia menatap langit, memikirkan makna kerja kerasnya. Apakah semua ini hanya untuk makan hari ini dan besok? Apakah hidup hanya sekadar memotong, memaku, menjual, lalu mengulanginya lagi?

Awal Peristiwa yang Mengguncang

Suatu hari, ketika sedang bekerja membuat pintu untuk seorang saudagar kaya, datanglah seorang lelaki fakir yang meminta sedikit potongan kayu untuk memperbaiki gubuknya. Abu Hafsh, yang saat itu sedang terburu-buru menyelesaikan pesanan besar, merasa terganggu. Ia mengusir lelaki itu dengan ucapan singkat, tanpa memikirkan perasaan orang tersebut.

Lelaki fakir itu pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Namun, beberapa saat kemudian, seorang ulama yang lewat di depan bengkelnya berhenti dan berkata:

“Wahai Abu Hafsh, tidakkah engkau tahu? Kadang-kadang Allah mengirimkan rezeki ke tanganmu, bukan untukmu, tetapi untuk orang lain. Jika engkau menahannya, engkau telah menahan hak Allah.”

Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya. Sejak saat itu, kegelisahan di hatinya semakin menjadi-jadi. Ia mulai mempertanyakan semua yang ia lakukan. Malam-malamnya tidak lagi tenang; pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak bisa ia jawab.

Hingga datanglah satu peristiwa yang benar-benar mengubah jalan hidupnya...

Baca Juga: Perjalanan Hati Abu Hafsh An-Naisaburi

Bersambung ke Episode 2...

Lebih baru Lebih lama