Al-Fudhail bin ‘Iyadh: Dari Perampok ke Wali Allah (Part 2)
Transformasi Jiwa: Jalan Menuju Zuhud
Setelah menetap di Makkah, Al-Fudhail mulai dikenal sebagai ahli ibadah. Ia hidup dalam kesunyian, menjauhi dunia, dan fokus pada muhasabah diri. Ia tidur sedikit, menangis lebih banyak. Baginya, malam adalah waktu terbaik untuk bermunajat dan mendekat kepada Allah.
Dalam kitab Hilyatul Awliya disebutkan bahwa ia biasa berkata: "Jika malam tiba, aku gembira, dan jika fajar datang, aku bersedih. Karena malam adalah waktu antara aku dan Tuhanku."
Ia melatih diri dengan zuhud yang ekstrem. Makanan seadanya, pakaian lusuh, rumah sederhana. Dunia benar-benar ia buang dari hati. Suatu ketika, seseorang menawarkan rumah yang nyaman padanya. Ia menjawab, "Cukuplah bumi Allah menjadi atapku, dan kerikil-Nya sebagai alas tidurku."

Nasihat-Nasihat yang Menggetarkan
Semakin dikenal, semakin banyak orang datang kepada Al-Fudhail. Bukan untuk berguru fiqih atau hadits semata, tetapi untuk menyejukkan hati yang kering. Al-Fudhail dikenal dengan kalimat-kalimat pendek, namun menghunjam.
Di antara nasihat terkenalnya:
- "Takutlah kamu kepada Allah sesuai dengan kadar kekuatanmu. Malulah kepada-Nya lebih dari kamu malu kepada manusia."
- "Jika kamu senang manusia tidak melihat dosa-dosamu, maka sembunyikanlah amal baikmu dari mereka."
- "Sebaik-baik amal adalah yang paling ikhlas dan paling benar." Ketika ditanya apa maksudnya, ia menjawab, "Ikhlas adalah karena Allah, dan benar adalah sesuai sunnah."
Banyak orang menangis mendengar kata-katanya. Hatinya lembut, tapi lisannya tajam karena cinta. Ia menegur bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyelamatkan.
Perjumpaan dengan Khalifah Harun ar-Rasyid
Salah satu momen paling terkenal adalah ketika khalifah Harun ar-Rasyid datang mengunjungi Al-Fudhail. Khalifah agung itu masuk ke gubuknya yang sederhana. Dengan suara berat, ia memohon nasihat dari sang wali.
Al-Fudhail menatapnya dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah. Engkau akan berdiri di hadapan-Nya sendirian, tanpa kekuasaanmu, tanpa pasukanmu. Jika hari ini engkau menangis karena takut kepada-Nya, semoga kelak engkau tidak menangis karena azab-Nya."
Harun ar-Rasyid pun menangis terisak. Ia berkata, "Tambahkan nasihat padaku wahai Fudhail." Sang wali menjawab, "Orang yang paling ringan hisabnya kelak adalah yang paling banyak menghisab dirinya hari ini."
Dialog ini tercatat dalam Siyar A’lam an-Nubala’ dan menjadi bukti bahwa suara kebenaran bisa keluar dari tempat yang paling sederhana.
Wali yang Menyembunyikan Dirinya
Meski dikenal luas, Al-Fudhail tidak pernah mencari popularitas. Ia menolak menjadi imam tetap di masjid, menolak jabatan, bahkan menjauh jika terlalu banyak orang memujinya. Ia takut kemasyhuran akan merusak niatnya.
Ia berkata, "Aku benci jika orang-orang mengatakan: Ini Fudhail, ahli ibadah itu. Karena aku tahu, siapa diriku di hadapan Allah."
Banyak wali Allah yang menyembunyikan maqamnya, dan Al-Fudhail adalah salah satunya. Ia tahu, nilai seseorang bukan di mata manusia, tapi di hadapan Rabbnya.
Jangan lewatkan: Wasiat terakhir penuh makna dari Al-Fudhail bin 'Iyadh menjelang ajalnya.
Penutup Part 2
Dalam part kedua ini, kita menyaksikan bagaimana pertobatan Al-Fudhail berubah menjadi energi spiritual yang luar biasa. Ia bukan hanya bertaubat, tapi juga menjadi panutan. Dari malam-malam tangis hingga nasihat-nasihat yang menusuk jiwa, ia menjelma menjadi pelita di zaman kegelapan.
Di part 3 nanti, kita akan menelusuri detik-detik akhir hidupnya, wasiat terakhir yang mengguncang para murid, dan bagaimana ia dikenang hingga hari ini sebagai contoh nyata bahwa rahmat Allah tak terbatas bagi siapa pun.
Sampai jumpa di bagian terakhir kisah penuh cahaya ini.