Wasiat Terakhir Sang Wali: Detik-Detik Husnul Khatimah Al-Fudhail bin 'lyadh

Wasiat Terakhir Al-Fudhail bin 'Iyadh Menjelang Husnul Khatimah Al-Fudhail bin ‘Iyadh: Titik Akhir Sang Wali (Part 3)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh: Titik Akhir Sang Wali (Part 3)

Hari-Hari Terakhir Sang Kekasih Allah

Usia tua tak melemahkan semangat Al-Fudhail dalam beribadah. Malam-malamnya tetap diliputi tangisan, siangnya dipenuhi puasa dan ilmu. Ia lebih banyak diam, tenggelam dalam dzikir dan perenungan. Murid-muridnya makin banyak, namun ia justru semakin menjauh dari keramaian.

Dalam riwayat disebutkan, suatu malam ia menangis sangat lama dalam sujudnya. Muridnya bertanya, "Wahai guru, tidakkah engkau lelah menangis seperti itu setiap malam?" Al-Fudhail menjawab, "Bagaimana bisa aku berhenti menangis sementara aku belum tahu apakah Allah telah menerima taubatku atau tidak?"

Ia hidup dalam harap dan takut yang seimbang. Tak sekalipun ia merasa aman dari azab Allah, walaupun telah menghabiskan separuh hidupnya dalam ibadah.

Ilustrasi perenungan dan taubat Al-Fudhail bin ‘Iyadh
Ilustrasi perenungan dan taubat seorang hamba yang akhirnya kembali kepada Allah.

Wasiat Terakhir yang Mengguncang

Di akhir hayatnya, Al-Fudhail memanggil murid-murid terdekatnya. Tubuhnya lemah, namun matanya tetap tajam menatap akhirat. Ia berpesan dengan suara lirih namun penuh kekuatan:

"Wahai anak-anakku, dunia ini fana. Jangan kalian tertipu olehnya. Sesungguhnya aku pernah mengejarnya, dan aku tidak mendapat apa-apa selain kehinaan. Tapi ketika aku meninggalkannya demi Allah, aku mendapatkan kemuliaan yang tak bisa dibeli oleh para raja."

Ia mengingatkan mereka untuk terus memperbaiki niat, menjaga amal dari riya, dan tidak tertipu oleh pujian manusia. Ia berkata, "Janganlah kalian menjadi seperti aku di masa laluku. Tapi jadilah seperti aku setelah Allah membukakan pintu taubat-Nya."

Wasiat itu ditulis dan disampaikan dari generasi ke generasi sebagai pelajaran bahwa hidayah itu bukan untuk mereka yang suci sejak awal, tapi untuk mereka yang bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kegelapan.

Detik-Detik Kembali kepada Rabb-nya

Hari itu datang. Langit Makkah seolah muram, seakan tahu bahwa salah satu wali-Nya akan segera kembali. Al-Fudhail terbaring lemah, dzikir tak pernah lepas dari lisannya. Ia memandang ke atas, tersenyum, lalu berkata lirih, "Duhai, betapa indahnya saat ini..."

Ia wafat dengan tenang. Tak ada tangisan keras dari para muridnya, hanya isak perlahan. Mereka tahu, orang yang mereka cintai baru saja disambut dengan kemuliaan oleh Tuhan-nya.

Jenazahnya diiringi ribuan orang. Ulama, ahli ibadah, bahkan orang-orang biasa yang hanya mendengar namanya saja ikut mengiringinya ke peristirahatan terakhir. Makkah hari itu seolah berhenti sejenak untuk memberi penghormatan pada hamba Allah yang dulunya pembuat kerusakan, namun meninggal sebagai pembawa cahaya.

Warisan Abadi: Cahaya dari Seorang Mantan Perampok

Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah bukti hidup bahwa seorang manusia bisa bangkit dari jurang kehinaan menuju puncak kemuliaan. Banyak muridnya menjadi ulama besar, dan tak sedikit yang merasakan perubahan hidup setelah mendengar satu kalimat dari lisan Al-Fudhail.

Salah satu muridnya, Ibrahim bin Adham, pernah berkata, "Aku datang kepada Al-Fudhail dengan hati penuh kebingungan. Setelah satu malam bersamanya, aku merasa dunia ini kecil, dan akhirat menjadi dekat."

Perkataannya menjadi pelita bagi hati yang gelap. Ia pernah berkata:

  • "Takut kepada Allah adalah pengetahuan yang sebenarnya."
  • "Orang yang paling menyesal di akhirat adalah orang yang membicarakan kebenaran, tapi tidak mengamalkannya."
  • "Hati yang mati adalah hati yang ridha pada dunia dan buta terhadap akhirat."

Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya: "Aku belum pernah melihat orang yang lebih khusyuk dan lebih takut kepada Allah daripada Al-Fudhail."

Ibnul Mubarak, sahabat sekaligus penasehatnya, menyebutnya sebagai "penyaring ilmu dan cahaya". Sedangkan Imam Adz-Dzahabi memasukkannya dalam jajaran auliya ash-shadiqin — para wali Allah yang benar dalam ucapan dan amal.

Kitab-kitab seperti Hilyatul Awliya dan Shifatush Shafwah mencatat dengan indah warisan Al-Fudhail, menjadikannya rujukan bagi para penempuh jalan tasawuf dan zuhud.

Refleksi untuk Zaman Ini

Banyak orang hari ini merasa sudah terlalu rusak untuk kembali kepada Allah. Tapi lihatlah Al-Fudhail. Ia pernah menjadi kepala perampok. Tapi dengan satu malam, satu ayat, satu perenungan — hidupnya berubah selamanya.

Kita tidak perlu menjadi ulama besar untuk berubah. Cukup mulai dari sekarang. Perbaiki satu amal. Satu niat. Satu langkah. Karena seperti kata Al-Fudhail, "Jangan remehkan satu langkah menuju Allah. Itu bisa menjadi sebab turunnya rahmat."

Bagi yang hidup di zaman digital, di mana maksiat ada di genggaman, kisah ini adalah alarm. Tapi juga pelipur. Allah tak melihat masa lalu kita. Ia melihat kesungguhan kita saat kembali kepada-Nya.

Penutup

Dengan selesainya kisah ini, semoga hati kita tergerak untuk menata niat, memperbaiki amal, dan percaya bahwa perubahan selalu mungkin — jika Allah berkehendak.

Jangan pernah putus asa dari rahmat Allah. Sebab, mungkin yang hari ini berdosa, esok menjadi wali-Nya. Seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh.

Insya Allah, di antara para pembaca mungkin ada yang ditakdirkan seperti Al-Fudhail: dari gelap menuju terang, dari lumpur menuju cahaya, dari lalai menuju husnul khatimah.

Jika kisah ini menyentuh hati Anda, jangan ragu untuk membagikannya kepada keluarga, sahabat, dan orang-orang tercinta. Semoga menjadi amal jariyah.

Jangan lupa berlangganan gratis di situs ini agar tidak ketinggalan kisah-kisah inspiratif berikutnya. Karena setiap cerita yang menyentuh hati, bisa menjadi awal dari perjalanan taubat seseorang.

Daftar Rujukan dan Sumber:

  • Hilyatul Awliya, Abu Nu’aim Al-Ashbahani
  • Siyar A’lam An-Nubala, Imam Adz-Dzahabi
  • Shifatush Shafwah, Ibnul Jauzi
  • Al-Tabaqat al-Kubra, Ibn Sa’d
  • Biografi Al-Fudhail bin ‘Iyadh dalam kutipan Imam Ahmad dan Ibnul Mubarak
Lebih baru Lebih lama