Dari Perampok Menjadi Wali: Kisah Al-Fudhail bin ‘Iyadh (Part 1)
Prolog: Di Tengah Malam yang Gelap, Cahaya Itu Datang
Angin malam berhembus kencang di gurun antara Kufah dan Makkah. Langkah-langkah cepat terdengar di antara bayang-bayang pohon kurma dan bebatuan tajam. Seorang pria bertubuh kekar dengan sorban menutupi wajahnya menyelinap diam-diam, membawa sebilah pedang di pinggangnya. Ia bukan musafir biasa. Namanya ditakuti oleh kafilah dagang, diburu oleh pasukan penguasa, dan dibisikkan dengan ketakutan oleh para ibu kepada anak-anak mereka.
Namanya: Al-Fudhail bin ‘Iyadh.
Namun, siapa sangka—pria yang pernah hidup dari merampok dan menakut-nakuti itu—kelak menjadi seorang wali dan ulama besar, hingga dijuluki Imam al-Haramain oleh banyak muridnya.
Kisah ini bukan dongeng. Ia tercatat dalam banyak kitab klasik seperti Hilyatul Awliya karya Abu Nu’aim, Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi, dan Shifatu Shafwah karya Ibn al-Jawzi. Mari kita telusuri jejak perubahan spiritual yang luar biasa ini.

Masa Kelam: Antara Makkah dan Kufah
Fudhail hidup dalam masa ketika keamanan jalanan menjadi persoalan besar. Ia dan kelompoknya sering mengintai kafilah dagang yang melintas. Kekejaman dan kelihaian strateginya membuat namanya menjadi legenda kriminal di wilayah itu. Namun menariknya, meski bergelimang dosa, dalam hatinya masih tersisa rasa takut kepada Allah.
Salah satu kisah paling terkenal terjadi saat ia hendak merampok seorang musafir. Saat ia menyelinap ke sebuah rumah untuk mencari korban, ia mendengar seseorang membaca ayat Al-Qur'an dari dalam rumah:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun?"
— QS. Al-Hadid: 16
Fudhail tertegun. Jantungnya berdetak kencang. Ayat itu seolah ditujukan langsung kepadanya. Tubuhnya gemetar. Ia mundur dari rumah itu dan merenung di balik batu besar. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Sudah datang waktunya, wahai Fudhail."
Malam itu menjadi titik balik. Ia tidak kembali ke markas. Ia tidak lagi mencuri. Ia memutuskan untuk berhenti dari kehidupan gelapnya dan mencari ilmu serta jalan Allah.
Menurut riwayat, pada malam yang sama ia shalat dengan tangisan yang panjang. Ia memohon ampunan dan berjanji tidak akan kembali ke dunia gelapnya. Ia merasa malu kepada Allah dan ingin menghapus dosa-dosa masa lalunya dengan amal dan ibadah.
Hijrah Menuju Cahaya
Setelah malam itu, Fudhail pergi ke Makkah. Di kota suci itu, ia hidup dalam pengasingan dan penyesalan. Ia mulai belajar dari para ulama, menangis dalam doa, dan memperbanyak ibadah malam. Ia pernah berkata, "Aku bertaubat karena takut pada Allah, lalu aku lanjutkan karena cinta kepada-Nya."
Ia tidak langsung diterima masyarakat. Banyak yang masih takut, banyak yang mencibir. Tapi kesungguhannya dalam menuntut ilmu dan keikhlasannya dalam ibadah perlahan mengubah pandangan orang. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat zuhud, lembut, namun tegas dalam nasihat.
Al-Fudhail kemudian menjadi murid dari para tabi’in dan menyerap ilmu hadits, fiqih, dan tasawuf. Ia mengambil jalur hidup sederhana, menolak kedudukan, dan tidak tertarik pada popularitas. Ia sering berkata, "Barangsiapa merasa cukup dengan dunia, dia akan miskin di akhirat."
Reputasinya menyebar hingga ke Khurasan, Irak, dan Hijaz. Banyak ulama besar datang kepadanya untuk belajar. Tapi ia tetap rendah hati dan menjauhi keramaian dunia.
Salah satu ciri khas Al-Fudhail adalah kekuatan nasihatnya. Ia sering berkata dengan nada lembut namun mengena, “Jika engkau tidak mampu shalat malam, ketahuilah bahwa dosa-dosamu telah mengikatmu.” Kalimat ini menghunjam hati banyak orang dan membuat mereka menangis.
Suatu hari, seorang pemuda datang kepadanya dan bertanya, “Wahai Fudhail, aku tidak bisa menangis. Hatiku keras.” Ia menjawab, “Hati yang keras adalah karena makanan yang haram, banyak dosa, dan jauhnya engkau dari Al-Qur’an.”
Ia pun dikenal sangat selektif dalam menerima tamu. Hanya orang-orang yang tulus mencari ilmu atau nasihat yang ia temui. Dunia tidak menarik baginya. Ia menolak hadiah dari penguasa, menolak jabatan, dan hidup dengan sangat sederhana.
Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa ia pernah berkata, "Aku tidak tahu apakah aku ini termasuk wali atau orang munafik. Tetapi aku sangat takut jika namaku disebut-sebut orang tapi Allah tidak menyebutku di sisi-Nya." Kalimat itu menunjukkan betapa dalam rasa takutnya kepada Allah, sekaligus kerendahan hatinya yang luar biasa.
Penutup Part 1
Perjalanan Al-Fudhail bin 'Iyadh baru saja dimulai. Dari seorang perampok, ia membuka lembaran baru sebagai penuntut ilmu dan pencari ampunan. Dalam Part 2 nanti, kita akan menggali lebih dalam tentang proses transformasi spiritualnya, nasihat-nasihat hikmah yang ia tinggalkan, dan bagaimana ia menjadi kekasih Allah yang dijaga doanya oleh langit dan bumi.
Kisah ini bukan sekadar biografi. Ini adalah pelajaran tentang harapan, perubahan, dan kasih sayang Allah yang luas. Jika seseorang seburuk Fudhail bisa berubah dan dicintai Allah, maka tak ada alasan bagi kita untuk putus asa. Allah membuka pintu taubat selebar langit, dan Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah salah satu buktinya.
Terus ikuti kisah ini karena setiap bagian dari hidup Al-Fudhail menyimpan pelajaran yang tak ternilai.
Baca juga: Transformasi Al-Fudhail: Dari perampok menjadi guru ruhani para khalifah.